Senin 18 May 2020 18:58 WIB

TIDI: Relaksasi PSBB Jangan Ikut-ikutan Negara Lain

TIDI mengatakan relaksasi pembatasan sosial perlu diukur dan melalui berbagai tahapan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Bayu Hermawan
Virus corona (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha mengatakan, relaksasi (pelonggaran) pembatasan sosial atau karantina untuk mencegah penyebaran virus corona baru (Covid-19), perlu diukur dan melalui berbagai tahapan. Ia mengungkapkan, TIDI telah melakukan kajian lintas negara yang melibatkan pakar dan analisisi untuk melihat tren pelonggaran pembatasan sosial atau karantina wilayah di beberapa negara.

"Relaksasi itu tidak bisa ikut-ikutan, tapi musti menggunakan parameter dan tahapan," ujar Arya kepada Republika.co.id, Senin (18/5). 

Baca Juga

Arya melanjutkan, TIDI telah melakukan kajian lintas negara dengan para pakar dan analis yang berada di Jerman, Inggris, Amerika Serikat (AS), Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia. Menurutnya, secara kuantitatif tingkat penambahan kasus baru Covid-19 di setiap negara yang melakukan relaksasi tersebut berbeda. 

Menurut Arya, ide relaksasi di Indonesia di suatu daerah, harus melalui pengecekan konsistensinya selama minimal 14 hari. Semisal DKI, tingkat reproduksi efektifnya dinilai belum stabil.

"Janganlah dulu kita sebut negara-negara Eropa yang baru relaksasi, sebutlah Taiwan negara yang sudah lebih dulu relaksasi itu kan karena mereka puncak pandemi saja tidak mengalami, sudah flatten the curve sejak hari pertama. Per 17 Mei hanya 440 orang kasusnya, 69 ribu tes, dan sudah "0" nol kasus selama 10 hari berturut-turut. Kalau lihat Inggris juga relaksasi karena tingkat reproduksi efektif sudah di bawah 1, sementara Indonesia kan masih 1,3," kata Arya.

TIDI mengambil contoh kasus Covid-19 di Inggris yang menggunakan reproduksi real time (Rt) sebagai acuan penerapan lockdown. Sebelum lockdown diterapkan, Imperial College London menghitung Rt di Inggris di atas 3 bahkan hampir mencapai 4. Artinya satu orang yang telah terinfeksi Covid-19, menulari 3 hingga 4 orang lainnya. Namun sejak diterapkan lockdown pada 24 Maret 2020, Rt turun drastis sampai di bawah 1.

"Meski Rt sudah di bawah 1, pemerintah Inggris sangat hati-hati dalam relaksasi lockdown, karena masih ada kekhawatiran penyebaran Covid-19 akan bangkit dan mewabah kembali," ujar Arya.

Arya juga menyebutkan bahwa Jerman pun memutuskan relaksasi dengan kondisi spesifik. Dia menilai, relaksasi Jerman dilakukan setelah partial lockdown secara ketat di beberapa negara bagian, baru kemudian kurva sudah terus turun secara konsisten juga tingkat reproduksi efektif sudah turun konsisten dalam 14 hari.

"Jadi mohon maaf Pak Denny JA jangan hanya baca berita luar negeri sedang terjadi apa lalu latah mengusulkan relaksasi, tanpa melihat konteks dan presesi perencanaannya," kata Arya menanggapi seruan relakasasi pembatasan di tanah air oleh Denny JA.

Arya juga menyebutkan berdasarkan masukan analis kesehatan TIDI di AS, jika mau menjadikan AS sebagai alasan, RI bisa mencontoh rationalitas bahwa re-opening itu ada kriteria satu fase ke fase berikutnya, misalnya ada jumlah konsisten selama dua pekan 14 hari yang berarti jumlah kasus positif menurun, jumlah pasien yang masuk RS menurun, jumlah masuk ICU menurun, serta jumlah kematian menurun. Arya mengatakan bahwa TIDI dalam waktu dekat akan merilis hasil kajian komprehensif sebagai rekomendasi hasil diskusi dengan para pakar dan analis TIDI di dalam dan luar negeri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement