REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Kebijakan Publik Defny Holidin meminta pemerintah tidak gegabah dalam membuat rencana kebijakan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Defny menyebutkan bahwa pelonggaran PSBB yang dilakukan secara prematur ibarat langkah bunuh diri dari pemerintah.
Dia mengatakan, keputusan itu akan menjadi bom waktu bagi masyarakat dan juga para pemangku kepentingan lainnya. "Kami sudah membuat kajian dan webinar empat kali dengan para ahli multidisiplin serta perbandingan antarnegara juga," kata Defny Holidin di Jakarta, Senin (18/5).
Pendapat serupa juga diungkapkan Direktur Eksekutif The İndonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha. Dia mengatakan, pelonggaran kebijakan tidak cukup mempertimbangkan survei-survei persepsi publik atau analisis kualitatif.
"Dibutuhkan satu ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik. Dalam kasus epidemi, salah satu ukurannya adalah R real-time (Rt)," kata Arya Sandhiyudha.
Secara hitung-hitungan, penekanan penyebaran virus bergantung pada angka reproduksi (R) menyusul belum adanya vaksin virus tersebut. Angka reroduksi 2 atau R>2 artinya satu orang terebut akan menularkan dua individu lainnya. Jika angka repoduksi menyentuh angka 3 maka satu orang dapat menularkan tiga warga lainnya.
Arya menegaskan, mengetahui Rt secara real time merupakan perkara yang sangat penting. Pengamat politik internasional ini mengatakan, ketika R>1 maka terjadi penyebaran penularan yang lebih luas.
Sebaliknya, jika R
Dia menjelaskan, nilai Rt sangat membantu untuk melihat seberapa efektif kebijakan dalam menangani pandemik. Lanjutnya, angka tingkat penularan itu juga memberikan informasi apakah sebaiknya pembatasan atau pengetatan ditambah atau dikurangi.
"Mengingat pembatasan atau pengetatan berdampak langsung pada perekonomian di satu sisi dan keselamatan manusia di sisi lainnya," katanya.
Dia menyontohkan Inggris yang menggunakan Rt sebagai acuan penerapan lockdown. Dia mengatakan, Imperial College London menghitung Rt di Inggris di atas tiga bahkan hampir mencapai empat sebelum kebijakan diterapkan.
Lanjutnya, nilai Rt turun drastis sampai di bawah satu sejak diterapkan lockdown pada 24 Maret lalu. Namun, dia mengatakan, pemerintah Inggris sangat hati-hati dalam relaksasi lockdown meski Rt sudah di bawah satu. "Karena masih ada kekuatiran Covid-19 akan bangkit dan mewabah kembali," kata Arya lagi.
Sementara berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada perubahan mobilitas penduduk selama masa PSBB, tingkat reproduksi virus di Indonesia tercatat berkurang. Dia mengatakan, nilai Rt turun dari hampir mendekati tiga masa awal kasus menjadi di bawah 1 pada akhir April.
Dia mengatakan, namun nilai Rt masih berfluktuatif di sekitar satu atau berada di rentang 1,34 hingga 1,47 selama sepekan terakhir. Artinya, sambung dia, penularan masih terus terjadi dan masih mungkin mencapai rekor atau puncak kasus baru.
Dia mengatakan, angka itu didapat dari perubahan mobilitas mulai setelah instruksi kerja, dari rumah (WFH) pada 16 Maret lalu. Dia mengatakan aktivitas warga lebih banyak di rumah hingga 24 persen lebih banyak dibanding sebelumnya. Sebaliknya, aktivitas di tempat kerja berkurang hingga 60 persen.
"Penting diketahui juga, bahwa Rt tidak terlalu bermanfaat apabila disajikan di level negara, apalagi untuk negara sebesar dan semajemuk Indonesia, karena prilaku dan pengetatan berbeda-beda di level provinsi bahkan kota/kabupaten," katanya.
Dia mengungkapkan, TIDI telah melakukan kajian pada Ahad (17/5) lalu secara lintas negara. Kajian dilakukan dengan para pakar dan analis yang tinggal di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Taiwan, Korea Selatan dan Malaysia.