Senin 18 May 2020 20:54 WIB

Pemudik Tahun Ini Diprediksi Bisa Capai 39 Juta Orang

Mudik berpotensi mendorong eskalasi wabah Covid-19.

Calon penumpang menunjukkan formulir pembatalan tiket kereta api di Stasiun Gambir, Jakarta, Senin (18/5/2020). Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam beberapa minggu ke depan, pemerintah masih tetap berfokus pada upaya pengendalian wabah COVID-19 melalui larangan mudik dan mengendalikan arus balik.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Calon penumpang menunjukkan formulir pembatalan tiket kereta api di Stasiun Gambir, Jakarta, Senin (18/5/2020). Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam beberapa minggu ke depan, pemerintah masih tetap berfokus pada upaya pengendalian wabah COVID-19 melalui larangan mudik dan mengendalikan arus balik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksi potensi pemudik di seluruh Indonesia tahun ini mencapai 39 juta orang. Angka pemudik tersebut adalah pemudik jarak dekat yakni dalam provinsi maupun mudik jarak jauh atau lintas provinsi.

"Ini berdasarkan hasil simulasi IDEAS di mana jika tanpa larangan yang tegas, maka mudik berpotensi mendorong eskalasi wabah Covid-19," kata Direktur IDEAS Yusuf Wibisono melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (18/5).

Baca Juga

Ia mengatakan potensi eskalasi penyebaran Covid-19 ke penjuru negeri didorong oleh pola mudik jarak jauh yang kuat ditemui di Jabodetabek, Kartamantul (Yogyakarta Raya), Pekansikawan (Pekanbaru Raya), Batam Raya dan Samarinda Raya. Kemudian, potensi eskalasi penyebaran dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan didorong oleh pola mudik jarak dekat yang sangat kuat sebagaimana terlihat di Gerbangkertosusila (Surabaya Raya), Malang Raya dan Mebidangro (Medan Raya).

IDEAS melihat setidaknya ada tiga kelemahan implementasi pelarangan mudik. Pertama, masih ada kemungkinan mudik antarwilayah non Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan non zona merah termasuk sebagian wilayah di Jawa.

Menurutnya, skenario menjadi lebih rumit terjadi ketika pemudik dari daerah PSBB dan zona merah tergoda untuk mudik ke daerah non PSBB dan non zona merah. Begitu pula sebaliknya, pemudik dari daerah non PSBB dan non zona merah tetap untuk mudik ke daerah PSBB dan zona merah.

Kedua, ujar dia, larangan mudik dikecualikan untuk sarana transportasi darat yang berada dalam satu wilayah aglomerasi. Ketentuan ini tentu berimplikasi pada diperbolehkannya mudik intra wilayah aglomerasi. "Padahal potensi mudik intra wilayah aglomerasi tidaklah kecil. Sebagai contoh, dari sekitar 11 juta potensi pemudik Jabodetabek, simulasi kami menunjukkan bahwa sekitar 2,8 juta diantaranya adalah mudik intra Jabodetabek," katanya.

Hal ini berpotensi melemahkan efektivitas PSBB yang kini diterapkan di tiga wilayah aglomerasi yaitu Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya.

Ketiga, ujarnya, ialah Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek tetap beroperasi meski diberlakukan pengaturan PSBB. Sebagai transportasi massal utama di Jabodetabek, operasional KRL cukup signifikan dalam penyebaran Covid-19 sehingga dapat berimbas pada upaya memutus rantai virus yang tidak akan optimal jika terus beroperasi.

"Jelang puncak mudik, alih-alih dilonggarkan, larangan mudik seharusnya semakin dipertegas agar memperkuat pelaksanaan PSBB terutama di Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya," kata dia.

Hal tersebut juga mestinya berlaku di metropolitan luar Jawa antara lain Medan, Padang dan Makassar. Ia menilai terlalu mahal biaya yang akan hilang sia-sia bila PSBB menjadi tidak efektif karena lemahnya implementasi larangan mudik. "Menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin adalah prioritas kebijakan tertinggi yang tidak dapat ditawar," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement