REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai perlu adanya regulasi pertanahan dan kehutanan yang jelas bagi petani. Hal itu untuk karena masalah persoalan legalitas lahan masih menjadi persoalan yang dihadapi bagi perkebunan sawit raktyat dalam beberapa tahun terakhir.
"Masalah ini disebakan empat tipe konflik tenurial, yaitu perkebunan sawit rakyat dimasukkan ke dalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam KHG Fungsi Lindung, lahan petani masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru dan moratorium kelapa sawit," kata Ketua Apkasindo Gulat Manurung di Jakarta, Senin (19/5).
Gulat mengatakan, solusi atas persoalan tenurial yaitu membuat desk petani sawit di Kementerian ATR/BPN, sosialisasi kepada seluruh kantor BPN Provinsi/ Kabupaten, Apkasindo berpartisipasi dalam pemetaan dan pengukuran lahan petani, pemberian sertifikat gratis untuk lahan pekebun sawit, dan proses balik nama kolektif.
Menurutnya, jika persoalan tenurial tidak dijalankan maka petani akan kesulitan mengikuti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020. Perpres itu mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang.
Dia mengatakan, sertifikat ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit. Lanjutnyam sedangkan di lapangan masih banyak petani baru mengantongi SKT/SKGR.
"Waktu lima tahun untuk prakondisi ISPO sangat singkat bagi petani. Jangan sampai ada kesan dengan aturan yang ada para petani justru seperti hendak disingkirkan dari sektor industri kelapa sawit di Tanah Air," ujarnya.
Gulat berharap pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada. Dia mengatakan, hal itu agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah, tidak berbeli-belit dan tidak mengeluarkan biaya pengurusan yang tinggi.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra mengatakan RUU Ciptaker diperkirakan bakal melaraskan aturan di lapangan. Dia mengatakan, RUU itu juga akan menyederhanakan regulasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi investasi seperti kelapa sawit.
Menurutnya, industri kelapa sawit menghadapi persoalan tumpang tindih peraturan. Dia mengatakan, persoalan ini dapat teratasi melalui RUU ciptaker karena terjadi overlapping regulasi di lapangan agar terjadi kebijakan komprehensif dan berkelanjutan.
Dia mengatakan, RUU itu menjadi dasar untuk menghilangkan ego sektoral serta strategi pemangkasan dan perangkuman regulasi dalam satu kesatuan. Dia megnatakan, Kementerian ATR/BPN mempunyai tiga klaster tanggung jawab di dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Pengadaan Tanah, Investasi & Proyek Pemerintah, dan Penyederhanaan Perizinan Berusaha.
"Dari hasil pengecekan, tantangan industri sawit adalah data khususnya peta kerap terjadi overlapping. Atau peta batasnya yang jelas mana yang memang bisa untuk usaha mana yang tidak mana. Persoalan ini sangat krusial," katanya.