REPUBLIKA.CO.ID, oleh Joko Sadewo*
Dalam beberapa hari terakhir, pertanyaan-pertanyaan dari sejumlah takmir masjid tentang apakah masjid sudah boleh dibuka makin banyak. Sejumlah kawan saya yang menjadi pengurus lingkungan, perangkat desa maupun satgas Covid banyak yang mendapat pertanyaan seputar pembukaan masjid ini.
“Mas, apa sudah boleh? Makin banyak ini warga yang nanya apa sudah bisa berjamaah di masjid. Saya bingung menjawabnya.” Begitulah, pertanyaan-pertanyaan yang mudah dijawab, tetapi susah dijelaskan.
Itu adalah realitas yang sekarang terjadi di daerah-daerah.
Tentu hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Umat Islam sudah hampir tiga bulan berupaya semaksimal mungkin mengikuti anjuran pemerintah. Mereka banyak yang mematuhi untuk beribadah dari rumah.
Bahkan, momentum Ramadhan yang merupakan momentum istimewa dalam perjalanan umat Islam pun mereka relakan untuk berjauhan dari masjid. Semua tak lain karena kesadaran dan kemauan untuk mendukung kebijakan pemerintah agar virus corona segera teratasi.
Memang ada sejumlah orang maupun kiai yang ngotot menolak untuk tidak ke masjid, dengan berbagai argumentasi maupun dalil yang mereka punya. Namun, mayoritas mendukung kebijakan beribadah dari rumah.
Dalam beberapa hari ke depan, kita juga sudah akan masuk momentum Idul Fitri. Jadi, wajar kalau pertanyaan membuka masjid itu mencuat lagi.
Banyak yang dengan arif mengajak umat Islam tetap bersabar, tetapi ada pula yang nyinyir menjawabnya. Ada yang mengatakan, 'Silakan saja dibuka kalau mau cepat mati,' 'Kemaruk (rakus--Red) pahala,’ ‘Opo kowe ra mlebu surgo yen saiki ra sholat neng masjid (Apa kamu tidak akan masuk surga kalau saat ini tidak shalat ke masjid)?’ dan sejumlah pernyataan-pernyataan nyinyir lainnya.
Bagi saya, faktor utama penyebab kencangnya lagi pertanyaan apa sekarang sudah boleh membuka masjid adalah ketidakkonsistenan negara dalam PSBB. Bagaimana tidak mempertanyakan, saat umat Islam masih banyak menahan diri untuk tidak mendatangi masjid, foto-foto keramaian mal justru banyak beredar di medsos. Saat pemerintah ramai berkampanye mengosongkan tempat ibadah, justru bandara dan pusat perbelanjaan dibiarkan berjubel-jubel.
Belum lagi ditambah dengan anggapan pemerintah sudah melonggarkan PSBB. Presiden Jokowi memang sudah membuat pernyataan bahawa belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Namun, yang dilihat masyarakat adalah fakta di lapangan.
Yang sekarang masyarakat lihat dan rasakan di lapangan adalah adanya isu relaksasi transportasi, ada fakta foto dan video bandara padat, ratusan orang yang turun dari kapal, atau kabar pemudik yang sudah sampai kampung halaman tanpa banyak hambatan pemeriksaan di jalan.
Yang sekarang justru saya khawatirkan adalah penerjemahan kebijakan yang salah. Jika ini terjadi maka konflik sosial akan meruncing, yaitu ketika perangkat negara menyederhanakan PSBB dengan menutup rumah ibadah. Mereka kencang menjaga rumah ibadah agar tetap kosong, tetapi membiarkan mal dan tempat-tempat berbelanjaan ramai antrean.
Apakah ada kemungkinan salah menerjemahkan kebijakan PSBB? Bagi saya, sangat mungkin terjadi. Penyebabnya bisa karena persoalan pengetahuan, tetapi bisa juga karena ketidakberdayaan. Mereka tidak bisa lagi menahan pergerakan manusia. Hanya mengosongkan masjid paling mudah dan paling mungkin untuk dilakukan.
Dengan ketidakkonsisten kebijakan negara, bagi saya sangat wajar muncul keinginan untuk mulai membuka tempat ibadah. Bagi sebagian orang, mendatangi masjid tidak sebatas menjalankan ritual shalat. Namun, mendatangi dan beribadah di masjid memberikan kenikmatan, kedamaian, dan kenyamanan tersendiri. Kenikmatan dan kenyamanan yang mungkin tidak diketahui, apalagi dirasakan orang fakir masjid seperti saya.
Jadi, kita tidak bisa menghakimi dan menyalahkan sebagian umat Islam, yang mulai ingin membuka lagi masjid. Karena umat Islam sudah sangat bersabar dan ikhlas mendukung kebijakan pemerintah. Justru pemerintahlah yang harus segera mengevaluasi diri. Janganlah bersikap tidak konsisten dan mencla-mencle atas sebuah kebijakan.
Mudah-mudahan umat Islam tetap konsisten mendukung upaya pemerintah mengatasi pandemi corona. Karena kita tidak punya pilihan lain selain memberikan dukungan terhadap pemerintah. Kemudian, bagi negara, sebaiknya jangan lagi MENCLA-MENCLE.
*) penulis adalah jurnalis Republika.co.id