Selasa 19 May 2020 15:20 WIB

Australia Sebut tak Berperang Dagang dengan China

Australia berencana mengadukan kebijakan tarif perdagangan China ke WTO.

Bendera Australia dan Cina.
Foto: AAP
Bendera Australia dan Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Menteri Perdagangan Australia, David Littleproud, pada Selasa (19/5) menyebutkan Canberra tidak menjalani perang dagang dengan Beijing. Pernyataan tersebut disampaikan setelah satu hari sebelumnya China menetapkan bea masuk terhadap gandum impor asal Australia.

"Tidak, tidak ada perang dagang. Faktanya sampai hari ini, ada peningkatan permintaan bijih besi dari China," kata Littleproud saat jumpa pers.

Baca Juga

"Kenyataannya, mereka (China) telah melalui tahapan, yang cukup adil, meskipun banyak pihak meyakini hubungan dagang kami tidak begitu adil," kata dia menambahkan.

Littleproud pada Senin (18/5) mengatakan Australia berencana mengadukan kebijakan China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah China mengenakan tarif nonsubsidi dan antidumping terhadap 80,5 persen gandum impor asal Australia mulai 19 Mei.

Kementerian Perdagangan China menyebut Australia telah melakukan praktik dumping terhadap komoditas gandumnya sehingga merugikan pasar dalam negeri Tiongkok. Pernyataan itu diumumkan merujuk pada hasil penyelidikan sejak 2018.

Bea masuk terhadap gandum impor Australia akan berlaku selama lima tahun. Pihak kementerian mengatakan bea masuk atau tarif sebesar 76,3 persen akan diberikan ke seluruh pengimpor, khususnya empat pengekspor utama di Australia, yaitu The Iluka Trust, Kalgan Nominee Pty. Ltd, JW&JI Mcdonald & Sons, dan Haycroft Enterprises.

Di samping bea masuk, otoritas di China juga menetapkan tarif nonsubsidi sebesar 6,9 persen.

Australia, pemasok gandum utama China, mengekspor barang dengan nilai sekitar 1,5 miliar dolar Australia sampai dua miliar dolar Australia (sekitar Rp 14,5 triliun-Rp 19,2 triliun) per tahun, atau lebih dari setengah dari nilai ekspor Negeri Kangguru.

Gandum (barley) biasa digunakan untuk campuran teh dan pakan ternak. "Tidak banyak pasar lain yang tersedia. Gandum dapat dijual ke Arab Saudi, tetapi harganya akan terpotong banyak dari nilai yang semestinya dapat diterima petani Australia saat menjual ke China," kata seorang pejabat Australia.

Sementara itu, China, pengimpor gandum terbesar dunia, dapat dengan mudah mengalihkan pemasok ke produsen lain seperti Prancis, Kanada, Argentina, dan beberapa negara di Eropa.

"Pemasok gandum (China) sangat mudah diganti," kata Direktur Pelaksana Evergrain, Andries De Groen. Evergain merupakan perusahaan penyuplai gandum yang berpusat di Jerman.

Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham menyebut langkah China itu mengecewakan. "Kami menolak keputusan itu dan akan memeriksa temuan kami seraya memikirkan langkah selanjutnya," kata Birmingham lewat pernyataan tertulis yang dikirim via surat elektronik.

"Kami berhak untuk mengajukan banding untuk masalah ini," kata dia.

Hubungan Australia dan China memburuk sejak 2018 setelah Canberra melarang Huawei memasarkan jaringan internet 5G-nya. Keduanya kembali bersitegang setelah Australia menyampaikan kekhawatiran terhadap pengaruh China yang menguat di kawasan Pasifik.

"Masalah ini merupakan bagian dari isu lebih luas yang Australia lakukan di antara hubungan politiknya di barat dengan kepentingan ekonominya di timur," kata Direktur Strategi Pertanian Commonwealth Bank of Australia, Tobin Gorey, menanggapi kebijakan tarif gandum impor.

China sempat dibuat marah dalam beberapa minggu terakhir setelah Australia meminta adanya penyelidikan independen terhadap asal-muasal virus corona jenis baru penyebab Covid-19.

Duta Besar China untuk Australia pada bulan lalu mengatakan warga China dapat merespons sikap Canberra dengan memboikot sejumlah produk seperti daging sapi, anggur, paket wisata, dan universitas.

Beberapa hari kemudian, Beijing menghentikan sementara impor daging sapi dari empat pengolah terbesar di Australia, yang nilainya setara dengan 20 persen ekspor daging sapi Australia ke China.

sumber : Antara/Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement