Selasa 19 May 2020 18:02 WIB

Miftahul Ulum, Pengakuan dan Bantahannya

Ulum mengaku awalnya ingin melindungi Imam Nahrawi, Kejakgung, dan BPK

Rep: Rizky Surya/ Red: Ilham Tirta
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Miftahul Ulum, diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung pada Selasa (19/5). Usai diperiksa, Ulum mengaku ditanyakan perihal kesaksiannya saat menjadi saksi untuk terdakwa Imam Nahrawi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (15/5).

"Diperiksa sama Kejaksaan, terkait pernyataan saya di sidang," ujar Ulum.

Saat ditanya pernyataan apa yang dikonfirmasi penyidik Kejagung, ia enggan menjelaskan lebih lanjut. "Besok saja ketika pemeriksaan terdakwa," kata Ulum merujuk pemeriksaan terhadapnya sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta dalam persidangan berikutnya.

Pemeriksaan oleh Kejakgung dilakukan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam persidangan Jumat pekan lalu, asisten pribadi mantan menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi itu mengaku telah menyuap Kejaksaan Agung Rp 7 miliar dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rp 3 miliar.

Suap pada lembaga hukum itu mulai tercium pada persidangan Jumat, 17 April 2020. Saat itu, Endang Fuad Hamidy (eks sekjen KONI) menerangkan, ada arahan dari Ulum agar menyiapkan uang Rp 7 miliar sebagai penghibur Kejakgung.

Ketika menjadi saksi dalam sidang Imam Nahrawi Jumat (17/5), Ulum akhirnya mengakui selama ini ingin menyelamatkan tiga pihak dalam persidangan kasus suap dana hibah KONI. Ketiganya adalah Imam Nahrawi, BPK, dan Kejakgung.

"Di BAP 53 huruf c, Saudara mengatakan, 'Saya tetap di sini gak papa yang penting dia lolos'. Kalimat yang Anda maksud siapa?" tanya jaksa Agus Prasetya.

"Dia itu sebenarnya ada Pak Menteri, ada Kejaksaan Agung, ada BPK. Ada tiga orang ini yang perlu dilindungi waktu itu," kata Ulum.

Ulum mengatakan, karena ada temuan di kasus itu sehingga harus segera diselesaikan. "Kejaksaan Agung sekian, BPK sekian dalam rangka pemenuhan penyelesaian perkara. Untuk BPK Rp 3 miliar, Kejaksaan Agung Rp 7 miliar," kata Ulum.

Untuk BPK, diberikan kepada Achsanul Qosasi dan Kejaksaan Agung kepada Adi Toegarisman. "Setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejakgung," ujar Ulum.

Bantahan

Pada Ahad, Kejakgung membantah terlibat dalam kasus suap tersebut. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakgung Hari Setiono menjelaskan, uang suap itu tidak jadi digunakan karena ada surat peringatan dari Inspektorat Kemenpora. Inspektorat itu meminta KONI menyampaikan pertanggungjawaban atas pengeluaran pada dana hibah tahap pertama.

"Inspektorat belum menerima pertanggungjawaban dana Rp 7 miliar. Inspektorat mengancam jika tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya, dana hibah berikut tidak akan dicairkan," ujar Hari pada Republika, Ahad (17/5).

Hari mengatakan, sejak adanya indikasi kasus suap di Kemenpora, jampidsus telah memerintahkan tim penyelidik untuk mengumpulkan data dan keterangan dari pihak terkait. Ia mengeklaim tim kejaksaan belum menemukan bukti dugaan tindak pidana sehingga belum dapat ditingkatkan ke tahap berikutnya.

"Dan untuk diketahui bahwa penyidikan perkara dugaan tipikor dana hibah KONI tahun 2017 oleh penyidik pada Direktorat Penyidikan Jampidsus masih tetap berjalan dan dalam proses pengumpulan bukti," kata Hari.

Ia juga mengklaim pihak yang disebut Ulum sudah mengatakan tidak terjadi penyerahan uang itu. Maka, keterangan Ulum tidak memiliki nilai pembuktian. "Dengan demikian, keterangan Ulum sifatnya hanya dugaan, tidak didukung bukti," ujar Hari.

Anggota BPK, Achsanul Qosasi, juga membantah memperoleh suap tersebut, bahkan mengeklaim tak mengenal Miftahul Ulum. "Saya tidak kenal Ulum dan tidak pernah bertemu dan tidak pernah sekali pun berkomunikasi dengan dia," kata Qosasi dalam keterangannya pada Sabtu (16/5).

Qosasi menjelaskan, kasus Ulum ialah kasus dana hibah KONI yang diperiksa BPK pada 2016. Sedangkan, Qosasi belum ditugasi memeriksa Kemenpora pada periode tersebut. "Surat tugas pemeriksaan bukan dari saya. Saya memeriksa Kemenpora pada 2018 untuk pemeriksaan laporan keuangan," ujar Qosasi.

Qosasi tak keberatan jika nantinya dikonfrontasi dengan Ulum. Ia meminta Ulum menyampaikan kebenaran dan jangan melempar tuduhan tanpa dasar. "Saya mendukung proses hukum kasus KONI ini berjalan lancar dan fair, tanpa ada fitnah pada pihak lain, termasuk kepada saya sendiri," kata Qosasi menegaskan.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement