Rabu 20 May 2020 07:10 WIB

Malam Seribu Bulan

Masih tersisa di depan mata malam kedua puluh sembilan Ramadhan.

Sejumlah umat muslim berdoa saat itikaf di Masjid Jamik, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (15/5/2020) dinihari. Memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, umat muslim memperbanyak ibadah untuk mengharapkan hikmah malam lailatulkadar
Foto: ANTARA/rahmad
Sejumlah umat muslim berdoa saat itikaf di Masjid Jamik, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (15/5/2020) dinihari. Memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, umat muslim memperbanyak ibadah untuk mengharapkan hikmah malam lailatulkadar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Malam seribu bulan ada pada bulan Ramadhan. Tepatnya pada malam kemuliaan. Nabi SAW bersabda, “Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan. Bulan  yang penuh berkah … Di bulan ini ada terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.” (HR. Ahmad dan Nasa’i). Seribu bulan itu kurang lebih delapan puluh empat tahun.

Allah SWT berfirman, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadar/97: 3). Bagi pengarang Tafsir Jalalain, beribadah di malam itu pahalanya jauh lebih besar dan lebih baik dari beribadah yang dilakukan selama seribu bulan. Seribu bulan, tulis Ahmad Mushthafa al- Maraghi dalam Tafsirnya, untuk menunjukkan angka yang sangat banyak.

Misalnya, lanjut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, dalam tradisi orang-orang Arab yang suka membicarakan angka seribu. Kesukaan itu terekam dalam al-Qur’an, “ …Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun …” (QS. al-Baqarah/2: 96). Di Indonesia masyhur penggalan puisi “Aku” karya Chairil Anwar, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. 

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menulis latar belakang turunnya ayat ini. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid yang berkata, “Pada masa lalu, hiduplah seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang intensif melakukan shalat malam hingga subuh tiba. Di pagi harinya ia berjihad menumpas musuh hingga sore.

Ia terus-menerus melakukan hal itu selama seribu bulan. Allah SWT lalu menurunkan ayat, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”  Artinya, mendirikan shalat di malam itu lebih baik dari amal saleh yang dilakukan oleh laki-laki Bani Israil tadi”. Jadi,  amal saleh yang dapat dilakukan pada malam kemuliaan adalah shalat. 

Ibadah pada malam seribu bulan diawali shalat Isya, tarawih, membaca Alquran, tausiyah, Tahajud, sahur, dan diakhiri shalat Subuh. Memang Nabi SAW menyebutnya secara umum, “Barangsiapa beribadah pada Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharap pahala, maka dosanya yang telah lampau diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Selanjutnya menurut pendapat lain, seperti dikutip Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, kerajaan Nabi Sulaiman dan kerajaan Dzul Qarnain masing-masing berlangsung selama lima ratus bulan. Namun Allah SWT menjadikan amal saleh pada malam kemuliaan lebih baik dari kedua kerajaan tersebut bagi orang yang menjumpainya.

Ibnu Abbas mengatakan, seperti dikutip Syaikh Nawawi Banten, surat al-Qadar terdiri dari tiga puluh kata dan lafadz “hiya” (malam kemuliaan) berada pada lafadz yang kedua puluh tujuh.  Menurut Ibnu Abbas,  “Lailatu Qadar” terdiri dari sembilan huruf dan diulangi hingga tiga kali dalam surat al-Qadar sehingga jumlahnya ada dua puluh tujuh.

Apa yang diungkap Ibnu Abbas di atas adalah prediksi tentang datangnya malam serbu bulan, yakni pada tanggal dua puluh tujuh Ramadhan. Namun Nabi SAW bersabda, “Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir… Malam tersebut adalah malam ganjil: sembilan, tujuh, lima, tiga atau malam terakhir.” (HR. Ahmad).

Andaikata pada malam kedua puluh tiga, kedua puluh lima, dan kedua puluh tujuh kita belum kunjung merasakan bertemu dengan malam seribu bulan (malam kemuliaan) maka masih tersisa di depan mata malam kedua puluh sembilan. Mari kita mempersiapkan diri merengkuhnya. Agar, “Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS. al-Qadar/97: 5).

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement