Rabu 20 May 2020 11:46 WIB

Emisi CO2 Global 2020 Diprediksi Turun Hingga 7 Persen

JIka aktivitas ekonomi dunia kembali bergeliat pada Juni, emisi global turun 4 persen

Rep: Febryan A/ Red: Dwi Murdaningsih
Emisi Karbon
Foto: Republika.co.id
Emisi Karbon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti melaporkan, emisi karbon dioksida (CO2) global dari bahan bakar fosil akan turun hingga tujuh persen pada tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Sayangnya, penurunan paling drastis sejak Perang Dunia II itu tidak akan mengurangi pemanasan global dalam jangka panjang.

Menurut penilaian sejawat atas laporan itu, kebijakan karantina wilayah pada awal April berhasil menurunkan 17 persen emisi CO2 global dibandingkan periode sama tahun lalu. Adapun penurunan emisi pada 4 bulan pertama 2020, sebanyak dua pertiganya disumbang oleh empat kekuatan ekonomi dunia yakni China, Amerika Serikat, Uni Eropa dan India.

Baca Juga

Pengurangan emisi oleh empat kekuatan ekonomi dunia itu setara dengan satu miliar ton CO2. Sedangkan total emisi dari industri dan energi tahun lalu mencatatkan rekor 37 miliar ton.

"Pengurungan populasi telah menyebabkan perubahan drastis dalam penggunaan energi dan emisi CO2," kata pemimpin riset untuk laporan itu, Corinne Le Quere, profesor di Tyndall Center for Climate Change Research di University of East Anglia, Inggris.

Sayangnya, menurut para ilmuwan penurunan ekstrem ini cenderung bersifat sementara. "Karena tidak mencerminkan perubahan struktural dalam sistem ekonomi, transportasi atau energi," kata Le Quere dalam laporannya yang dipublikasikan di Nature Climate Change sebagaimana dilansir PHYS, Selasa (19/5).

Bahkan, proyeksi penurunan emisi sampai 7 persen itu bakal tak terwujud jika perekonomian global kembali berjalan seperti biasa mulai pertengahan Juni mendatang (sebagaimana direncanakan oleh banyak pemimpin dunia). Jika benar demikian, kata Le Quere, emisi CO2 pada 2020 diproyeksikan hanya akan turun 4 persen.

Kepala Penelitian Dampak Iklim di Met Office Hadley Centre, Inggris, Richard Betts, menilai, penurunan emisi akibat pandemi ini hanya akan sedikit saja memengaruhi karbon dioksida di atmosfer. Pandemi, kata dia, hanya memperlambat, bukan menghentikan pemanasan global.

"Ini sama seperti kita sedang mengisi bak mandi dan sedikit mengunci keran, tetapi tidak mematikannya. Airnya masih naik, hanya saja tidak secepat biasanya," kata Betts.

Adapun suhu permukaan bumi telah naik satu derajat Celcius dibandingkan sebelum era industri. Kondisi ini dinilai sudah cukup untuk menimbulkan kekeringan yang mematikan, gelombang panas, dan badai besar yang diliputi kenaikan permukaan laut.

Untuk mengatasi ancaman pemanasan global itu, sebanyak 200 negara telah berjanji untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius. Itulah kesepakatan iklim Paris pada 2015 lalu.

Namun, setelah itu Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB (IPCC) menetapkan angka 1,5 derajat Celsius sebagai patokan yang paling aman. Tapi, melihat penurunan saat pandemi ini, mengupayakan target 1,5 derajat Celsius itu agaknya bakal sulit tercapai.

Sebab, untuk mencapainya dibutuhkan penurunan emisi CO2 sebesar 7,6 persen, sesuai dengan penurunan saat ini. Itu saja belum cukup karena penurunan sebesar itu harus terjadi setiap tahun selama dekade ini.

Bisa dipastikan target itu tak akan tercapai jika aktivitas industri kembali seperti biasa pada tengah tahun ini ataupun tahun depan. "Pandemi telah menunjukkan kepada kita bahwa perubahan struktural yang besar dalam sistem transportasi dan energi diperlukan," kata Mark Maslin, seorang profesor klimatologi di University College London.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement