REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bersentuhan dengan istri apakah membatalkan wudhu suami? Pertanyaan ini kerap muncul di kalangan masyarakat.
Aini Aryani, Lc dalam bukunya "Sentuhan Suami-Isteri, Apakah Membatalkan Wudhu?" mengatakan, Imam Syafi'i menghukumi sentuhan suami istri batal secara mutlak. Artinya ketika suami atau istri bersentuhan maka wudhunya batal dan harus mengulanginya.
"Para ulama fiqih dari Madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dapat membatalkan wudhu jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh apapun seperti kain, kertas, atau lainnya," katanya.
Pendapat Imam Syafi'i itu setelah menarik kesimpulan hukum dari Alquran surat Al Maidah ayat 6:
أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا
"Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...”
Secara harfiyah, kata Aini ayat tersebut, menyatakan bahwa menyentuh wanita menyebabkan batalnya wudhu sehingga dia diperintahkan mencari air untuk berwudhu kembali, dan jika tidak menemukan air maka diperintahkan untuk bertayammum
Akan tetapi, kata Aini ayat di atas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai wanita manakah yang jika disentuh menjadikan wudhu seseorang menjadi batal, Wanita yang menjadi mahramnya atau bukan, wanita yang sudah baligh ataukah yang belum, siapakah yang jika menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu.
"Hal-hal tersebut membuat para ulama menarik kesimpulan berbeda dari QS Al-Maidah ayat 6 di atas. Tentu dengan metode istimbath ahkam yang dimiliki masing-masing madzhab," katanya.
Berbeda dengan Madzhab Syafi’i, para ulama dalam Madzhab Hanafi cenderung memaknai kalimat أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ "au lamastumun-nisa" dengan makna majazi, yakni jimak atau hubungan seksual.
Dalam Madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita non-mahram (termasuk istrinya) tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, walaupun sentuhan itu dilakukan dengan syahwat.
Sebab yang menjadi patokan batalnya wudhu dalam hal ini adalah terjadinya jimak. Maka, sentuhan yang tidak sampai pada taraf hubungan seksual tidak membatalkan wudhu.
Pandapat Imam Ahmad itu berdasarkan hadits bahwa Rasulullah SAW menyentuh tubuh istrinya dalam keadaan sholat, namun beliau tidak batal dan meneruskan sholatnya. "Dari Aisyah RA berkata,"Aku sedang tidur di depan Rasulullah SAW dan kakiku berada pada arah kiblatnya. Bila Rasulullah SAW sujud, beliau beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku. Aisyah bercerita bahwa pada waktu itu tidak ada lampu di rumah (HR Bukhari Muslim).
"Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk sholat tanpa berwudhu' lagi.” (HR. Tirmizy).
Aini menyampaikan kembali bahwa, ulama dalam Madzhab Hanafi berbeda pendapat mengenai percumbuan antara laki-laki dan wanita dengan tanpa busana, yang menjadikan hampir seluruh tubuh mereka saling bersentuhan dengan syahwat. Tidak terjadi penetrasi, juga tidak sampai keluar air mani.
Sementara Abu Hanifah dan Yusuf memandangnya dengan kacamata istihsan yang menjadikan keduanya berhadats, sehingga otomatis membatalkan wudhu’. Berbeda dengan Muhammad Bin Hasan as-Syaibani yang menghukuminya dengan qiyas, perbuatan tersebut tidak membatalkan wudhu sebab tidak sampai terjadi penetrasi atau jimak yang sesunguhnya.
Dalam kitab Fathul Qadir, Ibnu Al Humam menjelaskan tidak wajib berwudhu karena menyentuh wanita, sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun pada kemaluannya. Pendapat ini tentu berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlak, dan Imam Malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dnegan syahwat mewajibkan wudhu.
“Bagi kami (Madzhab Hanafi) tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Adapun yang dimaksud dalam firman Allah mengenai jima dan ini adalah pendapat sebagian sahabat Rasulullah,” tulis Ibnu Al Humam.