REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Ali Mansur, Dessy Suciati Saputri
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr Pandu Riono MPH, Ph.D mengemukakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebenarnya sudah mulai dipatuhi oleh masyarakat di Indonesia pada Maret dan April. Namun, data menunjukkan penduduk mulai tidak patuh dengan kembali keluar rumah pada bulan Ramadhan.
Pandu dalam keterangannya pada telekonferensi melalui video mengenai evaluasi PSBB di Jakarta, Rabu (20/5) memaparkan data dari Google Mobility Index yang menunjukkan pergerakan penduduk mulai berkurang sejak diterapkannya kebijakan PSBB dan kampanye di rumah saja. Dia menyebut pergerakan penduduk masih terlihat banyak pada Februari dan mulai berkurang sedikit pada Maret 2020. Pergerakan penduduk kemudian jauh berkurang pada April 2020 di Pulau Jawa dan mulai kembali bertambah pada periode 1-10 Mei 2020.
"Di bulan puasa penduduk tidak lagi patuh, keluar mencari takjil, belanja di bulan Ramadhan, kembali terjadi kenaikan. Tapi ini titik krusialnya," kata Pandu.
Pandu kemudian memperingatkan bahwa pada Hari Raya Idul Fitri menjadi titik yang harus ditingkatkan kewaspadaannya. Karena, menurutnya, pergerakan penduduk tidak bisa dikendalikan saat orang-orang berlebaran.
Dia bersama tim epidemiolog FKM UI memanfaatkan data Google Mobility Index untuk mengorelasikan jumlah orang positif Covid-19 dengan pergerakan masyarakat yang dipantau dari fitur lokasi pada ponsel. Pandu menjelaskan pihaknya menggunakan data dari Google karena tidak ada indikator yang jelas untuk memantau keberhasilan PSBB di lapangan.
Menurut dia, dengan membandingkan data pergerakan penduduk menggunakan Google Mobility Index dengan laporan kasus harian yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan penurunan kasus di DKI Jakarta. Pandu menyebut sebanyak 60 persen warga DKI mengikuti anjuran diam di rumah dan hal tersebut berkorelasi dengan penurunan jumlah kasus di Ibu Kota.
Akan tetapi, jika melihat data secara nasional di seluruh Indonesia tidak mengalami penurunan dikarenakan hanya 50 persen penduduk yang membatasi pergerakannya. Dia menyimpulkan, bahwa dampak penurunan kasus bisa terjadi apabila penduduk yang mematuhi aturan PSBB dengan diam di rumah lebih dari 60 persen.
Berdasarkan tangkapan gambar yang belakangan beredar viral di media sosial, diketahui memang banyak warga yang mulai memadati pasar dan juga mal menjelang lebaran. Bahkan, mereka mengabaikan aturan physical distancing dengan berkerumun saat mengunjungi pasar maupun mal.
Menurut Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati, sebenarnya sebelum masa-masa menyambut lebaran masyarakat Indonesia cukup taat dan patuh terhadap aturan selama pandemi Covid-19 dibandingkan negara-negara lain.
"Saya tidak sepakat jika dikatakan bahwa masyarakat kita tidak ta’at tidak takut Covid-19, justru kita negara dengan salah satu komunitas paling mudah dikelola," ujar Devie saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (19/5)
Lantas, kata Devie, ada beberapa faktor yang membuat sejumlah kelompok masyarat mengabaikan aturan PSBB dan seolah-olah meremehkan bahaya Covid-19, terutama menjelang Idul Fitri. Di antaranya, adalah gravitasi tradisi yang kuat terkait momen hari Raya Idul Fitri. Seperti tradisi bahwa lebaran itu harus disambung dengan pakain-pakaian baru, berkunjung ke sanak saudara dan juga makanan untuk menyambut tamu.
"Dua bulan kemarin itu sebenarnya taat dan patuh, bulan Ramadhan mau berakhir, mereka mendapatkan tarikan tradisi lebaran yang sangat kuat. Selama ini mereka sudah di rumah, jadi mereka anggap tidak apa-apa jika keluar sebentar, hanya lebaran doang kok," tutur Devie.
Faktor selanjutnya, sambung Devie, secara empirik mereka tidak benar-benar pernah melihat seperti dampak orang yang terkena Covid-19. Berbeda dengan demam berdarah, misalnya, di mana semua orang pasti memiliki pengalaman dengan demam berdarah, baik dirinya langsung, saudaranya atau kerabatnya.
Sementara dalam kasus Covid-19, masyarakat tidak pernah benar-benar tahu. Meski, setiap hari diberitakan dan sekarang mereka juga sudah enggan mendengar atau membaca berita tentang Covid-19.
Selanjutnya adalah karakter permisif masyarakat. Menurut Devie, di kondisi normal pun masyarakat permisif terhadap aturan-aturan.
Misalkan, di jalanan banyak orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), anak-anak sudah mengemudi. Maka tidak heran jika saat bencana nasional pun banyak yang masih melanggarnya aturan PSBB.
"Ditambah faktor kelima, yaitu kebijakan yang paradoks. Mudiknya dilarang misalnya tapi pesawatnya bisa terbang, bisnya bisa jalan. Tidak boleh belanja tapi malnya diizinkan buka," keluh Devie.
Oleh karena itu, kata Devie, pemerintah jangan pernah lelah melakukan sosialisasi secara masif dan intens kepada masyarakat terkait Covid-19 dan aturan PSBB. Mengingat, masyarakat Indonesia masuk dalam kategori budaya short term society atau masyarakat jangka pendek. Artinya masyarakat Indonesia tidak terbiasa melakukan berbagai persiapan untuk jangka panjang.
"Cepat lupa, jadi harus diingat kembali bahwa sekarang ini lebaranya beda, tidak ada sholat ramai-ramai, tidak boleh berkunjung, sehingga tidak memerlukan baju baru dan dan tidak memerlukan makanan untuk menyambut tamu," kata Devie.
Selain melakukan sosialisasi yang tiada henti, juga harus ada sistem kontrol lalu lintas manusia yang berlapis dimulai dari tingkat RT. Tentunya, penegakkan disiplin juga harus ditunjang dengan peraturan yang konsisten dan tidak membuat bingung masyarakat itu sendiri.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pun menyayangkan kembali ramainya tempat umum seperti pasar dan mal selama masa PSBB diterapkan. Masyarakat berbondong-bondong mulai kembali memadati pasar menjelang hari raya Idulfitri ini.
“Kami juga prihatin, saya sangat prihatin karena masih adanya masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan,” ujar dia saat konferensi pers, Rabu (20/5).
Ia menegaskan, jika masyarakat benar-benar menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan mematuhi aturan PSBB, angka kasus corona pun akan semakin menurun. Namun, ia menilai masyarakat masih kurang peduli terhadap risiko tertularnya virus corona.
“Yang sangat kita khatirkan apabila masyarakat masih kurang begitu peduli dengan risiko yang akan terjadi, masih ramai, masih sering kumpul-kumpul, masih sering melakukan aktivitas yang sebenernya bisa ditahan, bisa dihindari,” ucapnya.
Menjelang hari raya Idul Fitri ini, ia berharap masyarakat dapat mengendalikan diri untuk tak melakukan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Sehingga, mata rantai penularan virus corona pun benar-benar terputus.
“Ini adalah waktu yang krusial buat kita, menjelang lebaran dan akhir lebaran, sekali lagi adalah saat-saat kritis kalau kita ingin segera memutus mata rantai penularan, kalau kita ingin segera ke kehidupan new normal, maka dua minggu terakhir adalah waktu terbaik,” kata dia.
Pada hari ini, terdapat penambahan siginifikan pasien terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 693 orang dalam waktu 24 jam. Sehingga, sampai Rabu (20/5) pukul 12.00 WIB, ada total 19.189 kasus konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia.