REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pengusaha Nasional (Japnas) mengungkapkan berhentinya kegiatan produksi akibat pandemi virus Covid-19 yang terjadi di dunia. Ketua Japnas Bayu Priawan Djokosoetono mengatakan, hal itu terjadi juga disebabkan pembatasan mobilitas manusia.
"Pandemik Covid-19 telah menyebabkan terganggunya kegiatan ekonomi bisnis secara ekstrim–khususnya sektor produksi," kata Bayu Priawan dalam keterangan di Jakarta, Rabu (20/5).
Dia mengatakan, hal tersebut telah berakibat pada terguncannya permintaan dan penawaran secara bersamaan. Dia melanjutkan, pandemi juga mengganggu jalinan mata rantai sektor industri hingga sudah ada yang mengalami stagnasi.
Bayu menyebutkan, pemerintah Indonesia berupaya melakukan mitigasi atas kemungkinan terpuruknya dunia usaha. Dia mengatakan, hal yang sama juga dilakukan oleh hampir semua negara di dunia dengan mengalokasikan anggaran khusus penanganan dampak ekonomi akibat Covid-19.
"Namun, dunia usaha juga perlu melakukan prediksi secara cermat dan lebih prudent agar tidak terlalu dalam menanggung risiko," ucapnya.
Ekonom Faisal Basri mengatakan, kasus guncangan yang dialami supply dan demand juga banyak ditemui khususnya sektor manufaktur hulu-hilir. Dai megnatakan, gangguan itu berdampak besar ke sektor lainnya.
"Bahkan sektor keuangan mengalami guncangan, bursa saham dan pasar obligasi ikut tertekan. Investasi nyaris berhenti dan jutaan pekerja telah dirumahkan," katanya.
Faisal membandingkan krisis ekonomi dan depresi besar pada 1929 akibat wabah penyakit yang notabene berbeda dengan kondisi dunia akibat pandemic Corona Virus pada 2019. Dia mengungkapkan, saat itu obat langsung tersedia bersma dengan sejumlah kebijakan ekonomi untuk memulihkannya.
Dia mengatakan, berbagai perangkat kebijakan ekonomi membuat kegiatan usaha dan masyarakat bisa terus berlangsung walaupun skalanya menciut. Namun, sambung dia, semua berjalan serba tidak jelas akibat pandemik Covid-19 saat ini.
"Sistem informasi dan globalisasi yang sangat masif menjadikan kondisi ekonomi dunia terguncang. Akibatnya di tingkat operasional bisnis terjadi supply shock dan demand shock secara bersamaan," katanya.
Menurutnya, berbeda dengan perang konvensional yang selalu melahirkan dua kutub yang saling bertentangan. Pada konteks pandemik Covid-19, dibutuhkan aksi kolektif global untuk menghadapinya. Dia mengatkan, jika kebersamaan dunia berjalan baik maka situasi ekonomi akan terselamatkan dan hubungan antara pasar dan negara akan kembali seimbang.
"Ini akan disertai dengan keseimbangan kembali antara hiper-globalisasi dan nasional otonomi. Tapi apa yang terjadi dalam krisis Covid-19 sejauh ini bukanlah indikator masa depan," katanya.