REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terjadinya kerumunan massa di berbagai tempat umum seperti pusat perbelanjaan, bandar udara, hingga pasar tradisional saat masa pembatasan sosial dinilai tak sepenuhnya menjadi kesalahan masyarakat. Dalam hal ini, perilaku masyarakat itu merupakan representasi dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan, ada berbagai faktor yang memengaruhi perilaku masyarakat. Dalam hal dilanggarnya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh masyarakat, Bivitri menilai hal ini diakibatkan akibat adanya inkonsistensi peraturan.
"Banyak faktor, misalnya kesempatan, kapasitas, kepentingan. Konsistensi peraturan juga akan berpengaruh pada ketaatan masyarakat pada hukum. Jadi jangan dituduh masyarakatnya bego dan nggak ngerti Covid-19, tidak sesederhana itu," kata Bivitri dalam sebuah diskusi daring yang digelar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rabu (20/5) malam.
Bivitri menyayangkan adanya pihak-pihak yang menyalahkan masyarakat sepenuhnya atas fenomena pelanggaran pembatasan sosial. Ia menilai, banyak kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan kontradiktif satu sama lain telah menimbulkan kebingungan masyarakat.
Ahli hukum dari Jentera Law School ini mengulas kebijakan pemerintah sejak awal wabah Covid-19. Pemerintah dinilainya terlambat dalam menelurkan kebijakan terkait Covid-19, bahkan di awal terkesan meremehkan melalui narasi yang dikeluarkan.
Setelah itu, kebijakan yang dikeluarkan pun membingungkan dan tidak konsisten. Ia mencontohkan soal operasional ojek daring hingga aturan soal mudik dan pembukaan transportasi yang diperbolehkan, lalu diralat lagi oleh pemerintah. Lalu, pemerintah juga membantah isu pelonggaran PSBB yang dikeluarkan sebelumnya.
"Jadi ini bisa dilihat kebingungan yang muncul, tidak salah kalau kita muncul. Ini barangkali yang memunculkan (frasa) 'Indonesia terserah' itu ya," kata Bivitri.
Bivitri mengingatkan, seharusnya kebijakan pemerintah berdasar pada wilayah etik penyelenggaraan negara, bertumpu pada hak azasi manusia sebagai kerangka negara hukum, serta didasarkan pada data dan dengan kerangka monitoring dan evaluasi. Bila komponen itu dipenuhi pemerintah, maka masyarakat tak bingung.
"Jadi ada kebingungan, kepanikan dan kekacauan sehingga tidak adil kalau kita sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang sudah mulai berdesakan di pasar, bandara, dan seterusnya. Itu akar permasalahannya karena peraturan berubah ubah, tidak konsisten dan komunikasi politik yang tidak tegas," kata Bivitri.
Dalam kesempatan yang sama dosen Hukum Lingkungan UGM Wahyu Yun Santoso menyoroti pelaksanaan PSBB pada rentang kendali. Ia menekankan, perlu ada upaya komunikasi kontinu dan konsisten terkait kebijakan maupun contoh dari tokoh publik. Ia menekankan penerapan protokol harus tuntas.
"Kalau memang benar dilakukan, tolong dong dituntaskan, jangan dibikin celah pelonggaran," ujar Wahyu.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, menurut Wahyu, harus membeberkan secara menyeluruh analisis angka yang dipaparkan. Pemerintah hanya memaparkan jumlah positif, pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP), dan sembuh.
"Tapi yang menjadi pertanyaan, angka itu angka peningkatan, akumulatif, baru dan di belakang angka itu maksudnya apa. Setelah itu, berdasarkan data dan komponen lainnya, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan yang tak simpang siur," kata Wahyu.