Kamis 21 May 2020 06:25 WIB

Jasa Penukaran Uang Baru untuk Hari Raya, Apa Hukumnya?

Semua jual beli adalah halal kecuali riba

Pedagang menunggu konsumen untuk jasa penukaran mata uang baru di Kawasan Titik Nol,  Yogyakarta, Selasa (19/5). Pada tahun ini minat warga menukar uang baru sangat sedikit dibanding tahun lalu
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Pedagang menunggu konsumen untuk jasa penukaran mata uang baru di Kawasan Titik Nol, Yogyakarta, Selasa (19/5). Pada tahun ini minat warga menukar uang baru sangat sedikit dibanding tahun lalu

REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1441 H, tidak jarang warga yang masih mencari jasa penukaran uang baru. Berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan uang dengan kondisi baik yang memiliki nominal lebih kecil. 

Para penjaja rupiah ini pun mengutip uang jasa dalam penukaran tersebut. Sebagai contoh, uang senilai Rp 10 ribu yang akan ditukar dengan Rp 100 ribu, konsumen harus membayar uang senilai Rp 110 ribu. Margin Rp 10 ribu dikutip oleh pengguna jasa tersebut sebagai untung dari usahanya menukarkan uang.

Ketentuan atau hukum penukaran uang menurut Islam telah tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) pada tahun 2002. Namun, hingga kini tak sedikit masyarakat yang belum mengetahui akan hukum tukar uang tersebut.

Kaidah Alquran dalam Surah al-Baqarah ayat 275 menjelaskan, semua jual beli adalah halal kecuali riba menjadi panduan. Tak hanya terhindar dari riba, jual beli tersebut hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak.

Mengenai transaksi jual beli sudah ditentukan enam barang yang disebut dengan barang ribawi. Barang ini harus ditukar dengan bersamaan jenis, seperti dikutip dari Hadis dari Muslim, Abu Dawud, At Tirmidziy, an- Nasaiy, dan Ibnu Majah. Hanya, memang ada ulama yang mem buat kias akan barang tersebut sesuai dengan kebermanfaatannya. "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai."

Di dalam hadis riwayat Muslim lainnya yang dirawikan dari Abu Said al-Khudriy, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sa ma (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya), dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai."

Fatwa MUI menjelaskan, transaksi jual beli mata uang (ash-sharaf) sebenarnya boleh dilakukan. Hanya, ada ketentuan yang harus dipenuhi. Pertama, transaksi tersebut tidak untuk spekulasi alias untung-untungan.

Pada transaksi yang dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilai nya harus sama dan tunai (at-ta qa budh). Sementara, untuk tran saksi yang berlainan jenis mata uang maka harus dilakukan nilai tukar yang berlaku pada transaksi dilakukan dan secara tunai.

Sesuai dengan fatwa MUI tersebut, pengamat dan praktisi ekonomi syariah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi Beik mengatakan, hukum penukaran uang dalam Islam itu diperbolehkan kalau prinsipnya mencakup dua hal. Yaitu, nilai tukar harus sama besar dan transaksi tukar-menukar uang nya harus on the spot atau di lokasi.

Irfan menyatakan, jika kedua prinsip tersebut dilanggar maka dipastikan transaksi atau uang tersebut menjadi riba. Menurut dia, praktik yang mengarah pada riba biasanya marak terjadi di tempat penukaran uang di jalan-jalan. Contohnya, menukar Rp 10 ribu dengan Rp 8 ribu. Dia menilainya termasuk jenis riba dan haram meski dengan dalih uang jasa. 

Irfan menambahkan, begitupun halnya jika melakukan tran saksi penukaran dengan mata uang asing. Menurut dia, penukaran tersebut harus sesuai dengan nilai kurs yang berlaku saat itu. Jika tidak, itupun tergolong perbuatan riba.

Irfan berharap, masyarakat, khususnya Muslim, yang sedang menjalankan ibadah puasa tidak sekali-kali mencoba menukarkan uang dengan cara yang tidak di be narkan oleh aturan Islam. De ngan melakukan praktik riba tersebut, dia menyatakan, bisa jadi seluruh amalan yang dilakukan selama Ramadhan jadi pupus.

sumber : Pusat Data Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement