Kamis 21 May 2020 08:36 WIB

Melihat Hilal Bulan Syawal

Allah menjadikan hilal sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin  didampingi Ketua MUI Yusnar Yusuf  memberikan keterangan usai melaksanakan Sidang Isbat di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (3/6/2019).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin didampingi Ketua MUI Yusnar Yusuf memberikan keterangan usai melaksanakan Sidang Isbat di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (3/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Tentang fenomena hilal atau bulan sabit terdapat sejumlah nash yang menjelaskannya. Misalnya, firman Allah SWT, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. al-Baqarah/2: 189). Tentu ayat ini masih menyisakan tanda tanya besar.

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul mengutip Ibnu Abbas yang berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang hilal, lalu turunlah ayat ini.” Abul Aliyah berkata, “Kami mendengar para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Mengapa hilal-hilal itu diciptakan?”  Lalu Allah SWT menurunkan firman-Nya tersebut”.

Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, dengan melihat hilal (pada awal bulan) kaum Muslim dapat menentukan awal bulan Ramadhan dan saat berakhirnya kewajiban berpuasa. Yakni, ketika datangnya hilal bulan Syawal. Bagi Ahmad Mushthafa al-Maraghi, menentukan waktu melalui hilal itu sangat mudah, buat orang awam sekalipun.

Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir menjelaskan bahwa mengetahui  hilal itu ada dua cara. Pertama, melalui rukyah. Kedua, melalui berita (dari sumber terpercaya). Syaikh Nawawi membuat beberapa kriteria mengenai sahnya melihat hilal bulan Ramadhan sebagai pertanda dimulainya puasa dan hilal bulan Syawal sebagai pertanda datangnya Idul Fitri.

Pertama, apabila ada dua orang yang adil mengaku menyaksikan munculnya hilal (baik hilal bulan Ramadhan maupun hilal bulan Syawal), maka kesaksian tersebut dapat dijadikan pegangan oleh pengambil keputusan hukum (secara pribadi atau kelompok) untuk memulai berpuasa Ramadhan atau berbuka (lebaran).

Kedua, apabila ada satu orang yang melihat hilal bulan Syawal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan pegangan untuk berlebaran. Berbeda dengan apabila ada satu orang yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka kesaksiannya dapat dijadikan pegangan untuk memulai melaksanakan ibadah puasa.

Alasannya, lanjut Syaikh Nawawi, kesaksian satu  orang yang menyaksikan hilal bulan Ramadhan dapat diterima demi memelihara perintah untuk berpuasa. Tetapi kesaksian satu orang yang melihat hilal bulan Syawal tidak dapat diakui lantaran mengarah keluar dari ibadah puasa. Kecuali yang melihat hilal bulan Syawal dua orang.

Nash selanjutnya, Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah Ibnu Ghanimah bertanya, “Ya Rasulullah, apa sebenarnya hilal itu? Ia tampak begitu tipis pada permulaan seperti benang, kemudian membesar sampai berbentuk bulat. Setelah itu bentuknya terus berkurang sampai tipis lagi seperti semula, bentuknya tidak tetap.” (HR. Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir).

Nabi SAW bersabda, “Allah menjadikan hilal sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah kalian bila telah melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah bila kalian telah melihatnya (hilal bulan Syawal) ….” (HR. Hakim). Di Indonesia, terlihatnya hilal bulan Syawal diumumkan oleh pemeritah melalui Sidang Isbat Kementerian Agama. 

Lebih lengkap lagi Nabi SAW bersabda, “Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi (hilal bulan Syawal). Jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga puluh.” (HR. Muslim). Maksudnya, sempurnakan bulan Ramadhan hingga tiga puluh hari.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement