Ahad 24 May 2020 07:46 WIB

Tangani Corona, Dokter Relawan Ikhlas Berlebaran di RSD

Dokter ini berharap semua orang bisa berkontribusi untuk memutuskan rantai penularan.

Red: Ratna Puspita
Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.

Oleh Rr Laeny Sulistyawati

REPUBLIKA.CO.ID, Momen lebaran idealnya dirayakan seluruh kaum Muslim dan Muslimah di dunia bersama-sama dengan orang tersayang. Berkumpul dan bermaaf-maafan dengan keluarga menjadi momen yang dirindukan setiap tahunnya sehingga masyarakat Muslim rela berdesak-desakan mudik ke kampung halaman untuk merasakan momen itu. 

Baca Juga

Namun hal itu tidak berlaku bagi seorang dokter Iswanto (32 tahun). Pria yang sudah menjalani profesi praktik di Klinik Merial Health Cawang, Jakarta sejak empat tahun terakhir ini memutuskan tidak pulang ke kampung halamannya di Buton, Sulawesi Tenggara, saat lebaran tahun ini. 

"Sebenarnya setiap tahun pulang kampung, sayang sekali tahun ini tidak mudik. Saya sudah memutuskan menjadi relawan tenaga medis penanganan Covid-19," katanya kepada Republika beberapa waktu lalu.

Pria berkacamata itu mengenang, saat masih kecil dan selama ramadhan, ia bersama keluarganya melakukan sholat tarawih. Sementara menjelang lebaran, ia dan keluarganya juga menjalankan tradisi membuat meriam bambu yang diisi minyak tanah dan diberi api kemudian berbunyi. 

Saat Idulfitri, ia selalu merrayakan dengan berkumpul bersama keluarga. Pada hari kemenangan itu, Iswanto bisa bersilaturahmi dengan keluarganya yang jarang bertemu. 

Iswanto juga berziarah ke makam ayahnya ketika Idulfitri. Ia memanfaatkan momen ziarah itu untuk napak tilas perjalanan hidupnya. 

Namun, Iswanto harus tidak pulang ke kampung halamannya setelah memutuskan memutuskan menjadi relawan tenaga medis di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebagai dokter, jiwa kemanusiaannya terpanggil untuk melakukan penanganan medis dan menjadi garda terdepan menangani pasien Covid-19.

"Semua dokter pasti memiliki jiwa kemanusiaan, apalagi kami juga sudah disumpah. Mungkin saya juga terbawa ajaran kampus tempat saya belajar kalau ini tanggung jawab kemanusiaan," ujar pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, tersebut.

Meski harus menjalani lebaran tahun ini di RSD, ia mengaku ikhlas. Ia tidak menampik kesedihan dan merindukan berkumpul-kumpul dengan keluarga. Pria yang telah merantau di Ibu Kota Indonesia selama hampir lima tahun ini pun menceritakan awal bergabung sebagai relawan di RSD Wisma Atlet.

Sebelum bergabung, ia mengaku meminta restu ibunya untuk menjadi relawan tenaga medis di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. "Saat itu saya izin ke ibu saya dan mengatakan suatu saat nanti, entah kapan mungkin pekan ini atau bulan depan akan masuk di garis terdepan penanganan virus ini dengan menjadi relawan," katanya.

Awalnya ,ia mengakui sang ibunda pasti melarang. Ibunya merasa kasihan dan khawatir anak bungsunya itu bisa tertular terinfeksi virus. Namun, Iswanto pantang menyerah dan berdiskusi panjang lebar dengan perempuan yang telah melahirkannya itu. 

Ia menjelaskan ke ibu, bahwa ia adalah seorang dokter. Jika Covid-19 diibaratkan sebagai perang maka dokter harus menjadi garda terdepan. 

"Saya bilang ke ibu, kalau saya tidak turun, siapa yang melawan. Jadi harus ada yang berani mengambil risiko untuk keselamatan orang lebih banyak dan mama harus ikhlas karena saya sudah jadi dokter, saya sudah disumpah untuk mengabdi sepenuhnya untuk kemanusiaan," katanya. 

Iswanto menambahkan kakaknya yang juga berprofesi sebagai dokter di Buton ikut membantu meyakinkan sang ibu. Setelah tujuh hari membujuk sang ibunda, Iswanto mendapatkan izin asalkan menjaga diri, menjaga keselamatan, dan memakai alat pelindung diri (APD).  

Ia kemudian mengajukan permohonan menjadi relawan tenaga medis gelombang lima dan kini ia menjadi tenaga medis dokter yang bertugas di Rumah Sakit Darurat (RSD) Kemayoran, Jakarta Pusat. Selama bertugas, ia bisa saja tertular virus ini.Meski merasa was-was, pria yang juga dokter umum ini bersyukur ketika melihat pasien-pasien yang dia tangani semangat untuk sembuh dari virus ini. 

Hampir setiap hari, ia mengaku sang ibu menelponnya. Iswanto selalu menceritakan semuanya baik-baik saja termasuk tidak menceritakan rekannya yang terinfeksi. "Saya takut nanti ibu semakin khawatir. Apalagi beliau juga memiliki tekanan darah tinggi," ujarnya.

Lebih lanjut, pria ini berharap semua orang bisa berkontribusi untuk memutuskan rantai penularan dan mengobati yang sudah terinfeksi. Ia menyebutkan tenaga medis yang mengobati pasien melalui semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang ada, baik itu di tingkat pertama, kemudian sampai rujukan. 

Selain itu, dia melanjutkan, untuk memutus rantai penularan dibutuhkan kebijakan pemerintah. Pihaknya minta pemerintah disiplin dan tegas menerapkan PSBB karena upaya ini sudah disepakati. Bahkan ia meminta kalau perlu ada denda untuk pihak yang tidak tertib melaksanakannya. 

"Jangan keluar. Ini memang tidak enak buat semua tetapi kita harus menyadari kalau rasa tidak enak ini berkontribusi dalam menangani Covid-19 ini. Apalagi kurvanya kan masih meningkat terus, kasus baru hampir 500 per hari," ujarnya.

Ia menegaskan, ini penting dilakukan karena pelayanan kesehatan di Tanah Air terbatas. Ia khawatir jika pasien terus bertambah bisa membuat fasilitas kesehatan (faskes) jebol.

"Artinya faskesnya jebol, tenaga medisnya juga jebol karena kalau dokter kelelahan maka imunitas bisa menurun dan bisa terinfeksi virus juga. Jadi banyak korban, tidak hanya pasien," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement