REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Cina akan mempertimbangkan undang-undang (UU) yang dapat membatasi aktivitas oposisi di Hong Kong. Agenda ini menguatkan spekulasi sebelumnya bahwa China akan melangkahi parlemen Hong Kong.
Juru bicara Pemerintah China, Zhang Yesui, mengatakan UU itu akan diputuskan dalam Sidang Kongres Nasional Rakyat (NPC) yang dibuka Kamis (21/5). Menurutnya, UU itu untuk "memantapkan dan meningkatkan sistem dan mekanisme penegakan hukum di Wilayah Pemerintah Khusus Hong Kong demi menjaga keamanan nasional."
Hal ini sebenarnya sudah dipertimbangkan sejak lama oleh Pemerintah China daratan. Momentumnya kian kuat seiring adanya aksi unjuk rasa antipemerintah yang terjadi beberapa bulan lalu.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris. Wilayah ini diserahkan kembali kepada Inggris pada 1 Juli 1997. Namun, ada kesepakatan bahwa Hong Kong akan memiliki sistem politik sendiri yang berbeda dari Cina daratan yang dikenal dengan "one country two systems". Dengan sistem tersebut, Hong Kong masih dapat menikmati kebebasan demokrasi dibandingkan Cina daratan.
Namun, dengan UU baru ini, maka kebebasan berserikat dan berkumpul dibatasi. Para pelanggar UU dinilai sebagai tindakan subversif. Usai rencana UU ini disampaikan, nilai tukar dolar Hang Kong langsung anjlok. Rencana ini juga diyakini bakal mengundang kekecewaan dari para aktivis prodemokrasi Hong Kong.
Sementara itu sidang Kongres Nasional Rakyat adalah perhelatan politik China terbesar setiap tahunnya. Sidang ini dihadiri oleh sekitar 3.000 anggota delegasi.
Orang-orang yang hadir terlihat memakai masker saat berkumpul di Great Hall of the People di jantung Kota Beijing. Namun, petinggi termassuk Presiden Xi Jinping tidak memakai masker.