Jumat 22 May 2020 07:15 WIB

Cara Imam Syafi'i Menempatkan Sumber Hukum Islam (2)

Imam Syafi'i menempatkan Alquran sebagai pokok hukum Islam.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Cara Imam Syafi'i Menempatkan Sumber Hukum Islam . Foto: Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Cara Imam Syafi'i Menempatkan Sumber Hukum Islam . Foto: Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Qiyas

Ustaz Teuku mengatakan, Imam Asy-Syafi’i mendefinisikan sebagai suatu upaya pencarian (keterangan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam Alquran dan hadits. Qiyas hanya boleh diterapkan menyangkut sesuatu yang yang tidak ada nash dari Alquran, hadits atau ijma.

Baca Juga

Ustaz Teuku menyampaikan, apabila sesuatu itu telah termaktub dalam Alquran atau hadits, maka anda harus menggunakan Alquran atau hadits sebagai dalilnya, dan anda harus tegas

menyatakan bahwa “Ini adalah hukum Allah” atau “Ini adalah hukum Rasulullah”, dan jangan katakan “ Ini qiyas”.

"Apabila sesuatu itu telah menjadi kesepakatan umat Islam (Ijma), maka anda harus menggunakan Ijma sebagai hujjah. Dengan demikian, fungsi qiyas hanya sebagai upaya pencarian ketetapan hukum yang tidah tersentuh oleh tiga sumber hukum utama

Aqwal shahabah

Para sahabat Nabi SAW mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat. Mereka adalah qudwah teladan dalam perkara agama dan dunia. Para Sahabat adalah orang-orang yang mendapat ridha Allah dan itu memang pantas di dapat oleh mereka.

Imam Asy-Syafi’i berkata: Selama seseorang mendapati Alquran dan as-sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika keduanya tidak ada, kita harus mengambil ucapan para Sahabat

atau salah seorang dari mereka, atau ucapan para Imam seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

"Jika kita bertaqlid pada pendapat salah seorang di antara mereka, itu lebih kita sukai," katanya.

Pendapat sahabat didahulukan dari kajian akal mujtahid, Karena para sahabat itu lebih pintar, lebih takwa, dan lebih shaleh. Produk-produk ijtihad mereka yang dikatakan lewat ijma harus diterima secara mutlak. Sedang yang dikeluarkan lewat fatwa-fatwa individual boleh diterima dan boleh pula tidak, dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya itu.

Istishab

Istishab adalah perihal tetap berlakunya suatu hukum pada zaman kedua, berdasarkan keberlakuannya pada zaman pertama, sebelum ada dalil tentang perubahan ketentuan. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i mengambil dalil dengan istishab ini bahwa sesuatu yang keluar selain dari dua jalan tidak membatalkan wudhu.

Katanya, selagi orang tersebut belum kedatangan sesuatu yang membatalkan wudhu, maka ia masih tetap dalam kondisi pertama (dalam keadaan berwudhu) sebelum keluarnya sesuatu najis darinya.

"Sebab, yang membatalkan wudhu adalah suatu yang keluar dari dua jalan, Maka Imam Asy-Syafi’i memutuskan bahwa wudhunya orang  tersebut tidak batal, berdasarkan istishab hukum yang berlaku pada tahap awal dalam keadaan berwudhu," katanya

Al-Akhz bi Aqalli Ma Qila

Maksudnya adalah mengambil sesuatu (hukum) yang paling sedikit dari hukum yang disebutkan.  Imam syafi’I menggunakan dalil ini dalam satu kasus ketika tidak ada dalil lain yang menguatkan hal tersebut.

Contoh: ulama berbeda pendapat tentang berapa diyah kafir zimmi, ada 3 pendapat. Pertama diyah kafir zimmi adalah sepertiga diyah muslim. Kedua, diyah kafir zimmi adalah setengah diyah muslim. Ketiga, diyah kafir zimmi adalah seperti diyah muslim.

"Dalam kasus seperti ini, imam syafi’i mengambil pendapat yang pertama yang paling sedikit disebutkan hukumannya diantara pendapat yang lainDalil ini di gunakan oleh sang imam ketika beliau tidak menemukan dalil lain," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement