REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Semasa hidupnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka menyandang banyak predikat. Tak hanya ulama, mubalig, dan pujangga, ia pun dikenal sebagai sejarawan dan politikus. Semua kemampuan itu didapat secara otodidak.
Ilmu pengetahuan yang dikuasainya meliputi filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun Barat. Padahal, sekolah formal yang diikutinya hanya sampai kelas dua SD di Maninjau. Dalam perjalanan sejarah keilmuan negeri ini, Hamka tercatat sebagai salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku.
Setidaknya, sebanyak 118 buah buku yang ia berikan untuk memperkaya khazanah keilmuan di Tanah Air. Tak heran jika ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Hamzah Fansuri adalah ulama sufi dan sastrawan dari Nusantara, tepatnya dari Aceh, yang hidup pada abad ke-17.
Dalam hidup Hamka, terdapat sejumlah sosok penting yang ikut memperkaya pengetahuan dan khazanah pemikirannya. Sosok-sosok itu, antara lain, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, RM Surjopranoto, hingga Ki Bagus Hadikusumo. Dari mereka inilah, Hamka berhasil memperkaya ilmu pengetahuan, selain membaca sejumlah literatur.
Kiprah Hamka sebagai seorang tokoh muda mulai terlihat saat masih berada di tanah kelahirannya. Seperti diceritakan Muhammad Anwar, pada usia 17 tahun Hamka memulai kariernya di Majelis Tabligh Muhammadiyah Padang Panjang. Ia dikenal sebagai tokoh kaum muda di Sumatra Barat.
Predikat tokoh muda itu tak lepas dari pemikiran Islam yang membawa pembaruan di bumi Minangkabau. Kala itu, kata Anwar, Hamka muda harus berhadapan dengan kelompok kaum tua yang diwakili para pengikut tarekat Naqsyabandiah. “Melalui pemikiran pembaruannya itulah yang kemudian menempatkannya sebagai tokoh muda,” kata Anwar.
Selama aktif di Muhammadiyah, Hamka merintis jabatannya dari bawah. Mulai dari ketua cabang di Padang Panjang, konsul Muhammadiyah di Makassar, ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatra Barat, hingga menjabat sebagai penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara, di jalur politik Hamka pernah menjadi anggota Partai Masyumi.
Pada 1977, Hamka pernah menduduki posisi strategis sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Tapi, jabatan tersebut harus ia lepaskan karena sikap istiqamahnya dalam mempertahankan fatwa. Salah satu fatwa yang membuatnya harus berseberangan dengan pemerintah dan membuatnya ditekan adalah fatwa yang melarang perayaan Natal bersama.
Sedangkan, di dunia sastra, nama Hamka juga memberikan pengaruh besar bagi dunia sastra di Indonesia. Ia dikenal sebagai pengarang roman. Bahkan, ia sempat dijuluki “Kiai Roman” karena kegiatannya yang dianggap menyalahi tradisi keulamaan itu. Puluhan tahun kemudian, barulah julukan itu berubah menjadi “Ulama Pujangga”. Di antara karya romannya yang banyak mendapatkan apresiasi adalah Di Bawah Lindungan Ka'bah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ada pula kisah roman berjudul Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Dalam Lembah Kehidupan.
Selain karya sastra tersebut, Hamka juga memiliki sebuah karya monumental yang hingga kini masih menjadi rujukan, yakni Kitab Tafsir Al-Azhar. Tafsir Alquran 30 juz ini dilahirkan Hamka pada saat menjalani penjara tanpa peradilan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama.