Jumat 22 May 2020 09:55 WIB

Dugaan Dana Hibah dan Desakan untuk KPK

KPK diminta lindungi saksi dugaan suap Kejagung di kasus dana hibah Kemenpora-KONI.

Terdakwa kasus dugaan suap dana hibah Kemenpora kepada KONI Ending Fuad Hamidy membacakan nota pembelaannya saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/5/2019). Sidang itu beragenda mendengarkan pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari terdakwa Sekretaris Jenderal KONI tersebut yang sebelumnya dituntut JPU KPK empat tahun penjara.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus dugaan suap dana hibah Kemenpora kepada KONI Ending Fuad Hamidy membacakan nota pembelaannya saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/5/2019). Sidang itu beragenda mendengarkan pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari terdakwa Sekretaris Jenderal KONI tersebut yang sebelumnya dituntut JPU KPK empat tahun penjara.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watc (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pro aktif dalam melindungi para saksi yang sedang memberikan keterangan di persidangan. Desakan ini terkait Kejaksaan Agung yang sedang mendalami  dugaan suap yang mengalir ke Korps Adhyaksa dalam penyidikan kasus dana hibah Kemenpora-KONI 2017.

Baca Juga

"Terlebih lagi, keterangan saksi tersebut rawan akan intimidasi dari pihak tertenu karena menyasar keterlibatan oknum mantan pejabat tinggi di institusi penegak hukum," kata Kurnia dalam pesan singkatnya, Kamis (21/5).

Kurnia menuturkan, desakan lantaran perkara dugaan suap dana hibah dari pemerintah terhadap Komite Olahraga Nasional Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga memasuki babak baru. Miftahul Ulum, mantan asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi telah membeberkan adanya dugaan aliran dana kepada anggota BPK Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman saat memberikan kesaksian di persidangan.

"Untuk Achsanul Qosasi sebesar Rp 3 miliar sedangkan Adi Toegarisman sendiri mendapatkan Rp 7 miliar," kata Kurnia.

Namun, pasca memberikan kesaksian di persidangan, Ulum diketahui langsung dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara yang hampir serupa dengan KPK. Langkah hukum yang diambil Kejaksaan Agung ini pun, lanjut Kurnia, patut untuk dipertanyakan bersama.

Pertama, kuat dugaan pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan terkait langsung dengan kesaksiannya yang menyebutkan adanya dugaan aliran dana ke mantan Jampidsus Adi Toegarisman. Perihal momentum ini penting untuk disorot.

"Jangan sampai ada upaya dari Kejaksaan Agung untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi," ujarnya.

Kedua, sambungnya, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Ulum di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.

"Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu," ujar Kurnia.

Pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Ulum di persidangan pun amat disayangkan. Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora tersebut.

Bahkan, jika di kemudian hari ditemukan adanya dugaan keterlibatan pihak lain, pihak Kejaksaan Agung sebenarnya secara hukum tidak punya hak untuk turut ikut campur dan tidak sedikit juga masyarakat yang menduga bahwa langkah Kejaksaan Agung ini sebagai upaya intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan di persidangan.

Kurnia menilai, langkah Kejaksaan Agung yang terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya bukan kali pertama ini saja terjadi. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkesan adanya dugaan intervensi terhadap proses hukum.

"Mulai dari anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri. Tentu publik tidak menginginkan hal ini kembali terulang," ujar Kurnia.

Pada bagian lain, isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.

Kurnia menambahkan, regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United  Nation Convention Against Corruption. Pasal menyebutkan  setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.

Dalam persidangan terdakwa korupsi dana hibah KONI Imam Nahrawi, di PN Jakarta Pusat pekan lalu, saksi Miftahul Ulum mengungkapkan tentang adanya dana suap ke Kejakagung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Miftahul, bekas asisten pribadi Imam Nahrawi saat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) mengungkapkan, uang suap senilai Rp 7 miliar diberikan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman. Uang suap sebesar Rp 3 miliar juga diberikan kepada auditor BPK Achsanul Qosasi.

Uang tersebut, Miftahul Ulum terangkan, sebagai dana tutup mulut. Uang suap kepada Adi Toegarisman diberikan agar kejaksaan menghentikan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi dalam penyaluran dana hibah Kemenpora-KONI 2017.  Sedangkan uang suap yang diberikan kepada Achsanul Qosasi, kata Miftahul Ulum sebagai kompensasi pengawalan audit tahunan BPK di Kemenpora.  

Adi Toegarisman sudah pensiun sejak Februari 2020. Achsanul Qosasi masih menjabat sebagai salah satu komisioner di lembaga auditor negara.

Keduanya, sama-sama membantah ungkapan Miftahul Ulum. Keduanya, pun sama-sama mengaku tak kenal Miftahul Ulum.

Sedangkan Kejakgung, sebagai institusi negara membantah tuduhan Miftahul Ulum dengan memastikan tak ada penghentian penyidikan dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan Kemenpora-KONI.

Meskipun begitu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengakui, terjadi penanganan perkara yang mangkrak terkait kasus tersebut. Itu terbukti selama setahun penyelidikan dan penyidikan, Kejakgung tak satupun berhasil menetapkan tersangka terkait dugaan korupsi dana hibah tersebut.

Hari menjelaskan, pengungkapan perkara dugaan korupsi dana hibah KONI 2017 sudah dimulai Mei 2019 lewat Sprindik 220/F.2/Fd.1/05/2019.

Selama penyidikan ketika itu, Dirpidsus menunggu penghitungan kerugian negara (PKN) dari BPK. Pada April 2020, Dirpidsus menerbitkan Sprindik baru 220/F.2/Fd.1/04/2020 tentang perkara yang sama. Pada Mei 2020, BPK, kata Hari, baru mengeluarkan verifikasi penghitungan kerugian negara, dan meminta Kejakgung melakukan pemeriksaan ulang terhadap sejumlah saksi-saksi terkait dana hibah KONI 2017.

Pemeriksaan ulang, Kejakgung penuhi dengan kembali memanggil sejumlah saksi-saksi. Pada Selasa (19/5) Kejakgung kembali memeriksa dua pejabat. Yakni Chandra Bhakti, dan Washinton Sigalingging dari Kedeputian Prestasi Olahraga di Kemenpora.

Kejakgung pada hari yang sama, juga memeriksa Miftahul Ulum di Rutan Salemba cabang KPK. Pada Rabu (20/5), pemeriksaan kembali dilakukan dua pejabat keuangan Kemenpora, Donny Armayn, dan Supriono.

“Adanya pemeriksaan saksi-saksi tersebut, menegaskan bahwa proses penyidikan perkara dana hibah KONI 2017, masih berjalan di Kejaksaan Agung,” terang Hari.

Pemeriksaan saksi-saksi tersebut, pun Hari meyakinkan sebagai bantahan terhadap Miftahul Ulum yang menyatakan adanya suap ke Kejakgung dan BPK, untuk penghentian perkara dana hibah Kemenpora-KONI tersebut.

Sementara Kejakgung melanjutkan penyidikannya, proses hukum atas dugaan serupa sudah KPK lakukan sejak 2019. Dalam kasus yang sama, KPK menetapkan banyak tersangka. Termasuk Miftahul Ulum, dan Imam Nahrawi.

Keduanya dituduh terlibat dalam korupsi dana hibah, berupa suap dan gratifikasi senilai Rp 26 miliar. Sebagian yang terlibat dalam kasus tersebut sudah dijebloskan ke penjara. Sedangkan Miftahul Ulum dan Imam Nahrawi, kasusnya masih bergulir di PN Tipikor Jakarta.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement