REPUBLIKA.CO.ID, oleh Santi Sopia, Rr Laeny Sulistyawati, Antara
Herd immunity. Kata-kata tersebut sudah beberapa bulan terakhir sejak pandemi melanda menjadi cukup populer.
Ketika pembahasan tentang pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengemuka, tidak sedikit yang bertanya apa yang akan terjadi. Apakah mungkin herd immunity terjadi ketika kurva pandemi Covid-19 belum turun, tetapi masyarakat sudah diberi kebebasan untuk hidup lebih longgar.
Herd immunity atau kekebalan kelompok bisa terjadi ketika banyak orang menjadi terpapar penyakit, dalam kasus ini Covid-19. Menurut situs Kementerian Kesehatan, herd immunity menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect), yaitu turut terlindunginya kelompok masyarakat yang bukan merupakan sasaran imunisasi dari penyakit bersangkutan.
Namun, herd immunity membutuhkan jumlah orang yang terinfeksi dan sembuh dalam jumlah besar. Untuk kasus virus yang belum terdapat vaksinnya seperti Covid-19, hal itu akan menimbulkan risiko besar.
Konsep herd immunity baru bisa tercapai bila populasi yang terinfeksi mencapai sekitar 70 persen. Artinya, 70 persen dari 270 juta warga Indonesia perlu terjangkit Covid-19 untuk tercipta imunitas kelompok.
Persentase tersebut mewakili 189 juta jiwa. Bila angka kematian tiga persen saja, yang merupakan rata-rata dunia, korban meninggal 3 persen dikalikan 189 juta, yaitu sekitar 5,67 juta jiwa.
Sementara itu, angka kematian di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata dunia atau bisa dibilang upaya menerapkan herd immunity artinya berpotensi memakan lebih banyak korban jiwa di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) dr Eka Ginanjar SpPD-KKV menjelaskan, herd immunity berarti membiarkan imunitas alami tubuh muncul hingga terbentuk daya tahan terhadap virus dan penyebaran virus diharapkan reda dengan sendirinya. Risikonya, menurut Eka, kematian massal bisa terjadi di kalangan usia produktif sehingga menghilangkan sebuah generasi.
"Bayangkan, saat ini episentrum Covid-19 ada di Jabodetabek yang relatif memiliki fasilitas kesehatan lengkap saja angka kematian sudah cukup tinggi. Bagaimana kalau di daerah? Bagaimana Papua dengan fasilitas kesehatan yang minim?" katanya.
The Vaccine Knowledge Project at Oxford University mengatakan, herd immunity "hanya bekerja" kalau mayoritas populasi telah divaksinasi terhadap suatu penyakit. Konsep ini juga tak mempan untuk seluruh penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin.
Organisasi tersebut mengungkapkan, herd immunity tidak seperti vaksinasi. Kekebalan komunitas tidak memberikan tingkat perlindungan individual yang tinggi sehingga itu bukanlah alternatif yang baik untuk menjadi imun.
Vaksin pun menjadi satu-satunya harapan manusia saat ini untuk mengontrol laju virus corona jenis baru. Dikutip dari NBC News, Jumat (22/5), ilmuwan William Haseltine yang telah bekerja di proyek genom manusia sebelumnya tidak yakin vaksin Covid-19 akan bisa menjadi solusi. Ia lebih menyarankan negara-negara melakukan pelacakan kasus secara saksama dan memberlakukan upaya isolasi ketat untuk mencegah penularan virus.
Haseltine mengatakan, selama vaksin belum ada, salah satu upaya pengobatan yang bisa dilakukan adalah mengontrol infeksi dan menemukan serta mengisolasi mereka yang terdampak. Penggunaan masker, mencuci tangan, dan menjaga kebersihan area permukaan, serta menjaga jarak masih tetap aspek penting.
Indonesia saat ini ditegaskan masih dalam status darurat bencana nasional akibat Covid-19. Meskipun status keadaan tertentu darurat bencana yang ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berakhir pada 29 Mei 2020, status keadaan darurat masih diberlakukan.
Alasannya, peraturan yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai penetapan status bencana nonalam Covid-19 sebagai bencana nasional belum berakhir. Presiden Jokowi menetapkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Bencana Nonalam Covid-19 Sebagai Bencana Nasional pada 13 April 2020 lalu.
“Secara otomatis, status keadaan darurat bencana menyesuaikan dengan Keputusan Presiden 12 Tahun 2020. Selama keppres tersebut belum diakhiri maka status kebencanaan masih berlaku,” ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melalui pesan digital seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (22/5).
Ia menjelaskan, status keadaan darurat ini sangat bergantung pada dua indikator utama yang disebutkan dalam keppres tersebut. Pertama, penyebaran virus SARS-CoV-2 yang masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah terdampak, dan implikasi pada aspek sosial-ekonomi. Dilihat dari konteks penyebaran, gugus tugas nasional mencatat hingga kemarin (21/5) angka kasus positif Covid-19 masih bertambah.
Di samping itu, besarnya kasus dalam 1 bulan terakhir menunjukkan penularan terjadi pada transmisi lokal. Ini berarti semakin banyak infeksi virus yang terdeteksi, semakin banyak transmisi lokal yang sedang terjadi.
Kedua, terkait dengan status global pandemik yang ditetapkan Badan PBB untuk Kesehatan Dunia atau WHO sejak 11 Maret 2020 lalu.
Terkait dengan pandemi global, keadaan darurat di wilayah nusantara ini juga dipengaruhi situasi global tersebut.
“Selama pandemi global belum berakhir dan vaksin serta obatnya belum ditemukan maka masih diperlukan penetapan status bencana nasional untuk Covid-19,” ujar Doni.
Selama WHO belum mencabut penetapan tersebut, selama itu juga status pandemi tetap ada. Doni menambahkan bahwa status yang diberlakukan menggunakan parameter seperti jumlah korban dan kerugian ekonomi yang meningkat setiap harinya, cakupan wilayah terdampak yang semakin meluas, serta dampak lain yang ditimbulkan selain ancaman di bidang kesehatan, yaitu di bidang sosial, ekonomi, keamanan, ketertiban, dan politik.
Masih berlakunya status bencana nasional juga menunjukkan negara hadir untuk melindungi warga negaranya secara nyata dan konsisten terhadap bahaya keterpaparan virus SARS-CoV-2. Sementara itu, ia menegaskan, Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 1 menyebutkan bahwa epidemi dan wabah penyakit termasuk dalam bencana nonalam.
"Berdasarkan UU tersebut, penetapan bencana nasional didasarkan pada jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan," katanya.