REPUBLIKA.CO.ID, Boris the Cheat. Julukan ini disematkan kepada Boris Onischenko, seorang atlet pentatlon—sebuah cabang olahraga yang melomba kan anggar, renang gaya be bas, berkuda, menembak, hingga lari lintas alam—yang nekat melakukan kecurangan pada ajang Olimpiade.
Mewakili Rusia, Onischenko sebenarnya memiliki reputasi sebagai juara Olimpiade. Dia sudah mendapatkan medali perak pada Olimpiade Meksiko 1968. Empat tahun kemudian, Onischenko merebut satu emas untuk beregu dan dua perak untuk ajang individu di Munich.
Onischenko kembali ikut berkompetisi pada Olimpiade Montreal 1976. Dia memasuki cabang olahraga yang sama dengan cara yang berbeda. Dalam pertandingan anggar, Onischenko berhasil mengalahkan lawan-lawannya dengan mudah.
Di partai final, dia kembali harus berhadapan dengan atlet Inggris yang notabene berasal dari militer, Jim Fox. Atlet Inggris ini merasa ada yang salah pa da permainan Onischenko. Bak pesulap, dia selalu mencetak skor meski pedangnya tak sampai menyentuh tubuh Jim. Dia pun protes karena poin Onis chenko tetap bertambah meski hanya menjulurkan pedangnya.
Pedangnya kemudian diganti. Meski sudah menggunakan pedang normal, dia tetap menang karena margin skornya amat besar. Panitia lantas memeriksa pedang Onischenko. Mereka pun menemukan sirkuit elektronik di gagang pedang atlet kelahiran Ukraina ini sudah dimodifikasi. Lewat trik ini, Onischenko bisa terus mencetak skor hanya dengan menekan tombol di gagang pedangnya tanpa membuat kontak dengan lawan.
Praktik curang tidak melulu ada dalam ajang olahraga. Kecurangan juga rentan terjadi dalam dunia ekonomi, politik, hingga pendidikan dan budaya. Apa pun bentuknya, Islam mengutuk keras praktik curang. Di dalam Alquran, Allah SWT bahkan berfirman, "Kecelakaan besar bagi mereka yang berlaku curang." (QS al-Mu thaffifin: 1).
Ketika Nabi SAW baru sampai di Madinah, penduduk kota itu memang terkenal curang, terutama dalam takaran. Namun, selepas Allah SWT menurunkan ayat tersebut, mereka pun menjadi lebih baik dalam menggunakan takaran saat jual beli.
Imam Ibnu Katsir mengungkapkan, al-muthaffifin berasal dari kata tathfif. Artinya yakni curang dalam memakai takaran dan timbangan. Ada kalanya mereka meminta tambahan bila menagih orang lain. Sebaliknya, dia mengurangi takaran bila melakukan pembayaran. Karena itu, ayat selanjutnya dalam surat tersebut berbunyi, "Apabila menerima takaran dari orang lain me reka minta dicukupkan. Apa bila mereka menakar atau menim bang (untuk orang lain) mereka mengurangi."
Dalam pengertian lainnya, al-muthaffifin diambil dari kata thaffa atau melompat. Prof Quraish Shihab menganalogikan kata ini seperti meloncati pagar atau mendekati atau hampir seperti gelas yang tidak penuh. Ahli tafsir ini berpendapat, seseorang yang meloncati pagar, misalnya, adalah orang yang tidak melakukan cara yang wajar. Demikian dengan mereka yang tidak memenuhkan gelas yang mestinya penuh.
Menurut dia, ayat tersebut merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalam penimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan sema cam ini bukan saja kecurangan, melainkan juga pencurian dan buk ti kebejatan hati pelakunya. Di sisi lain, kecurangan ini menunjukkan pula keangkuhan dan pelecehan.