Utusan khusus PBB untuk Hak Migran mengecam tindakan pemerintah Malaysia menggerebek kantung-kantung migran ilegal dengan dalih pencegahan wabah. Menurutnya pendekatan kekerasan tidak membantu meredam penyebaran virus corona.
“Gelombang penggerebekan dan kampanye kebencian sangat merugikan upaya memerangi pandemi di dalam negeri,” kata Felipe Gonzales Morales kepada Reuters.
PBB menilai kebijakan Kuala Lumpur hanya menciptakan rasa takut di kalangan kaum migran, termasuk mereka yang menetap secara legal.
Namun pemerintah Malaysia bergeming. Kementerian Kesehatan sebaliknya mengabarkan pihaknya menemukan beberapa “kluster” COVID-19 di kantung-kantung pemukiman buruh migran.
Perang melawan wabah di kantung pengungsi
Jumat (22/05) Kemenkes melaporkan 35 kasus baru usai menggerebek sebuah pusat penampungan imigrasi di Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Sebanyak 645 dikabarkan ditahan aparat keamanan.
“Sumber penularan masih diselidiki. Kami harus menginvestigasi secara teliti sebelum membuat pernyataan apa pun,” kata Direktur Jendral Kementerian Kesehatan, Noor Hisham Abdullah.
Dia mengatakan dari 35 kasus positif di Bukit Jalil, 17 orang berasal dari Myanmar, 15 dari India dan tiga orang yang masing-masing berasal dari Sri Lanka, Bangladesh dan Mesir.
Rabu (20/05) lalu pemerintah juga menangkap 200 migran dari Bangladesh dan Indonesia di Kuala Lumpur.
Sejauh ini otoritas Malaysia sudah mengurung lebih dari 1.800 migran dari dua aksi penggerebekan. Selama wabah, jiran di utara itu mencatat lebih dari 7.000 kasus penularan dengan 114 angka kematian.
Sentimen xenofobia di tengah wabah
PBB sebaliknya beralasan, menahan migran di tengah wabah justru merugikan upaya mengendalikan penyebaran virus. “Dalam situasi semacam itu mereka akan semakin takut keluar untuk menjalani tes atau pergi berobat, bahkan jika mereka memiliki gejala virus corona,” kata Felipe Morales.
Migran yang ditahan termasuk anak-anak dan pengungsi Rohingya asal Myanmar, tuduh PBB.
Menurut laporan The Guardian, aksi penggerebekan terhadap migran ilegal turut diiringi tuduhan miring bernada xenofobia terhadap komunitas warga asing, terutama pengungsi Rohingya.
Kampanye antiasing itu juga membidik aktivis kemanusiaan dengan membeberkan data dan foto pribadi mereka di internet. Akibatnya kaum yang cenderung miskin dan termarjinalkan itu kian kesulitan mengakses bantuan kemanusiaan.
Menteri Dalam Negeri Hamzah Zainuddin pernah menerbitkan pernyataan yang menyebutkan etnis Rohingya sebagai “imigran ilegal” di Malaysia yang tidak mengakui “hak suaka.”
Menurutnya pengungsi Rohingya “tidak memiliki status, hak atau dasar untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah.”
Dalam pernyataannya, PBB juga meyakini “rasa takut terhadap penangkapan bisa mendorong kelompok ini untuk bersembunyi,” dan meningkatkan “risiko penyebaran COVID-19.”
Rzn/ (dpa, rtr, bbc, guardian)