Ahad 24 May 2020 14:00 WIB

Seberapa Buruk Ekonomi China Akibat Corona?

Output industri China pada bulan April tumbuh sebesar 3,9 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Bendera China.
Foto: Pixabay
Bendera China.

REPUBLIKA.CO.ID, Sementara para ekonom menyebutkan, data ekonomi China tidak selalu dapat dipercaya. Kini mereka para peneliti memiliki dilema baru, tidak ada data.

Seperti ditulis Koresponden BBC News, Karishma Vaswani, pada hari Jumat (22/5) lalu, China menyatakan tidak akan menetapkan target untuk pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini. Sikap itu belum pernah terjadi sebelumnya sejak China mulai menerbitkan target-target ekonomi mulai tahun 1990.

Baca Juga

Meniadakan target pertumbuhan merupakan pengakuan suatu negara betapa sulitnya pemulihan di China pada saat era pasca pandemi. Sementara angka terakhir menunjukkan China berada di jalan keluar perlambatan ekonominya namun pemulihan tidak merata.

Di tengah situasi yang sulit saat ini, China untuk pertama kalinya sejak pandemi melanda menyatakan bahwa pabrik kembali membuat barang lagi.

Output industri pada bulan April tumbuh sebesar 3,9 persen, lebih baik dari perkiraan sebelumnya setelah sempat runtuh 13,5 persen dalam dua bulan pertama tahun ini akibat lockdown besar-besaran diberlakukan.

Terdapat pula sejumlah data lain yang secara mengejutkan menunjukkan pola V pada ekonomi China. Yakni penurunan awal yang tajam dan diikuti dengan pemulihan yang cepat dalam aktivitas ekonomi.

Konsumsi batu bara oleh enam pembangkit listrik utama di China melonjak kembali ke level normal setelah sempat menurun, menurut bank investasi JP Morgan. Saat ini sekitar 1,5 persen di atas rata-rata historis, menunjukkan bahwa permintaan daya telah kembali normal.

Langit China yang sebelumnya bebas polusi kini telah mulai kembali seperti semula pertanda adanya aktivitas ekonomi. Bahkan, tingkat polusi udara China baru-baru ini melampaui konsentrasi pada periode yang sama tahun lalu untuk pertama kalinya sejak krisis virus corona.  Semua itu menunjukkan bahwa China perlahan-lahan kembali ke bisnis.

Tapi, itu bukan bisnis seperti biasa, dan itu menunjukkan betapa sulitnya bagi semua negara untuk membuat ekonomi kita berjalan kembali.

Angka penjualan ritel baru-baru ini menunjukkan betapa sulitnya membuat orang ke toko dan membeli barang. Penjualan turun 7,5 persen pada bulan April, lebih baik dari posisi Maret, tetapi tidak ada tempat di mana mereka perlu agar perekonomian berjalan penuh kembali. Banyak orang China masih khawatir dengan gelombang infeksi kedua, dan mereka tidak menghabiskan uang sebanyak dulu.

Tidak heran jika China mengabaikan target pertumbuhannya tahun ini - pemerintah tahu akan sulit untuk memperkirakan seberapa dalam krisis ini terjadi.

Impian China di Bawah Tekanan

Selama 40 tahun terakhir, Partai Komunis China telah mampu menjanjikan kontrak sederhana kepada warganya bahwa akan menjaga kualitas hidup rakyat China sehingga meningkat.

Ini adalah kontrak sosial yang pemimpin China Xi Jinping ketika ia mengumumkannya pada 2012. Tahun 2020 dimaksudkan untuk menjadi bagian penting dari rencana besar itu, dimana China akan menghilangkan kemiskinan absolut, meningkatkan kualitas dan standar hidup bagi jutaan orang.

Tetapi virus corona bisa membuat kontrak sosial itu dalam risiko. Boleh dibilang, lebih dari krisis ekonomi lainnya dalam sejarah Partai Komunis China, krisis kesehatan ini telah menjadi ancaman utama bagi stabilitas sosial di negara ini.

Jutaan orang muda mungkin tidak dijamin memiliki tingkat kesuksesan yang sama dengan yang dilihat oleh generasi orang tua mereka. Menjaga agar kontrak kekayaan, pekerjaan, dan stabilitas itu menjadi kunci legitimasi Partai Komunis China.

Itulah sebabnya pemulihan ekonomi China sangat penting dan tidak memiliki target pertumbuhan memberikan pemerintah suatu fleksibilitas yang sangat dibutuhkan untuk menyusun rencana.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement