Ahad 24 May 2020 18:25 WIB

Sejumlah Hikmah Tersembunyi di Balik Pandemi Covid-19

Hakikat iman adalah saat orang lain merasa aman dan nyaman atas kehadiran kita.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ilham Tirta
Perbandingan suasana Idul Fitri tahun 2019 dengan tahun 2020 yang sepi aktivitas di Lapangan Puputan Margarana, Renon, Denpasar, Bali, Minggu (24/5/2020). Shalat Idul Fitri 1441 H di ruang publik di Bali untuk tahun ini ditiadakan dan umat Islam melakukannya di rumah masing-masing dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19
Foto: ANTARA FOTO
Perbandingan suasana Idul Fitri tahun 2019 dengan tahun 2020 yang sepi aktivitas di Lapangan Puputan Margarana, Renon, Denpasar, Bali, Minggu (24/5/2020). Shalat Idul Fitri 1441 H di ruang publik di Bali untuk tahun ini ditiadakan dan umat Islam melakukannya di rumah masing-masing dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pandemi Covid-19 membuat umat Islam melewati bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dengan berbeda. Mulai dari silaturahim yang terhalang jaga jarak hingga Shalat Idul Fitri yang tidak bisa dilaksanakan di masjid.

Meski begitu, Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII, Ustaz Supriyanto Abdi menilai, banyak hikmah dari kondisi itu. Pertama, pentingnya penguatan kesadaran ketuhanan. Artinya, kita seperti disadarkan adanya sumber energi yang jauh lebih besar untuk menyelami dan menjelajahi kesalaman spiritual kedirian.

"Kita seperti mendapatkan energi ganda di dua sisi, sisi pada masa pandemi dan pada masa Ramadhan, keduanya sama-sama melengkapi dan memberi suasana yang bisa mendukung penguatan kesadaran ketuhanan kita," kata Abdi.

Selain itu, Abdi menyebut ada spiritual distancing. Dimaknai sebagai jarak spiritual dengan menjaga jarak antara jiwa kita dengan segala yang berbau kenikmatan material dan hasrat libidinal.

Ini dirasa perlu kita terapkan dalam menjalani ibadah agar tidak digoyahkan kekhusyuannya agar menggapai esensi ibadah yang hakiki. Tidak sekadar membuat Ramadhan dan lebaran sebagai suatu rutinitas festival tanpa bekas spiritual.

Kedua, pentingnya penguatan nalar keagamaan yang rasional dan holistik. Musibah kemanusian merupakan takdir Allah yang tidak lepas dari hukum kausalitas yang harus di analisis dengan seksama.

Untuk itu, kita harus bijak dalam menyikapi ini dengan menunjukkan sikap rasional. Artinya, menaati prosedur kesehatan yang sudah ditetapkan ahli kesehatan dan harus dibarengi dengan kesungguhan berdoa kepada Allah SWT.

"Ketiga, pentingnya penguatan kesadaran kemanusiaan karena wabah Covid-19 ujian ketangguhan keimanan sekaligus sensitivitas kemanusiaan," ujar Abdi.

Dari dua sisi ini, berpuasa di tengah pandemi menguji apa kita sudah benar-benar beriman dan memiliki kepedulian kepada sesama. Dalam konteks ujian seperti ini, beragama di masa pandemi tidak bisa dilakukan secara egois.

"Misalnya, tetap bersikeras pergi ke masjid tanpa menghiraukan anjuran pemerintah dan seruan fatwa dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus," kata Abdi.

Ia berpesan, hakikat iman yang benar adalah saat orang lain merasa aman dan nyaman atas kehadiran kita, sekaligus makna padunya agama dan kemanusiaan. Karenanya, Abdi menekankan, beragama seyogyanya tidak mencelakakan orang lain.

"Tidak pula membuat orang lain merasa terancam karena agama diturunkan untuk membaawa rahmat bagi siapa saja di jagat raya, rahmatan lil alamin," ujar Abdi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement