Senin 25 May 2020 09:15 WIB

Pertemanan Menyeret Abu Fida Masuk ke Jaringan Terorisme

Literasi tanpa bimbingan, serta pengaruh pertemanan jadi faktor tindak radikalisme.

Aksi solidaritas terkait tragedi teror bom di Surabaya (ilustrasi).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Aksi solidaritas terkait tragedi teror bom di Surabaya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zainur Mahsir Ramadhan

Saifuddin Umar (54 tahun) alias Abu Fida termasuk sebagai sosok penting dalam perjalanan dunia terorisme di Indonesia. Sejak dekade 80-an, ia mulai terlibat di dunia terorisme, lantaran bergabung dalam organisasi yang bertujuan ingin menegakkan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII). "Saya sendiri pada 85-86-an itu intinya di DI, NII, dan pada awal 93-an (organisasi) itu pecah menjadi JI atau Jamaah Islamiyah," kata Abu Fida menjelaskan keterlibatannya dalam jaringan terorisme.

Dalam webinar bertajuk 'A New Normal: Terrorisme and Digital Acceleration (Sebuah Peringatan Dua Tahun Bom Surabaya)' yang diadakan IDN Times Jatim pada 13 Mei 2020, Abu Fida menerangkan, JI terus beroperasi hingga organisasinya pecah pada medio 2000-an, dengan alasan di internal tidak tercapai kesepakatan dalam menentukan tujuan akhir. Meski begitu, orang-orang yang sudah terlibat jaringan terorisme tetap menjalin kontak untuk menjalankan misinya masing-masing demi tercapainya negara yang diidam-idamkan.

Menengok ke belakang, keputusan Abu Fida mendaftar sebagai santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mengantarkannya menjadi pribadi yang haus ilmu keagamaan. Dia pun akhirnya melahap banyak literasi karya pengarang Muslim, mulai Abu Al-Maududi, Said Hawwa, hingga Hasan. Kegemaran mengonsumsi buku semakin memuncak ketika ia memasuki tahun akhir pendidikan di Pondok Gontor. “Dari literasi dan pergaulan itu, membawa saya ke pola pemikiran yang sejalan dengan DI dan NII,” ujar laki-laki kelahiran Kota Surabaya ini.

Abu Fida kemudian mendapat penugasan dari pimpinan Gontor untuk mengabdi di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah, yang diasuh oleh Abu Bakar Ba'asyir. Dia pun bisa berinteraksi dengan Abu Bakar Ba'asyir secara intens selama di Pondok Al-Mukmin. Perkenalan dengan pikiran ekstrem dari pondok di Jawa, terus dibawa Abu Fida saat melanjutkan pendidikan di Timur Tengah. Dia melanglang buana, mulai menempuh pendidikan agama di Suriah pada 1985, melanjutkan di Yordania, Pakistan, dan terakhir di Arab Saudi, sebelum balik ke Tanah Air.

“Setelah Pendidikan di Suriah, Yordania, dan negara lainnya membuat pola pikir saya semakin 'tertata'. Sehingga tindakan tak patut dari adab Islam, saya lakukan,” tutur pemilik Yayasan Tafaqquh Fiddin di Surabaya tersebut.

Abu Fida menegaskan, pola pikir dan banyaknya interaksi dengan berbagai pemikir dan aktivis Islam dunia tidak semata-mata membuatnya langsung terjun ke dunia radikal. Dia menyebut, ada faktor tidak kalah penting yang menjadi pemantik, yang menyeretnya menjadi sosok radikal, yaitu pertemanan.

Ketua Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Jawa Timur, ini, mengingat, ajakan untuk menjadi jamaah Abu Bakar Baasyir dan kelompok ekstrem lainnya, membuat pertemanan dengan mereka yang satu pemikiran terjalin secara berkelanjutan. Dengan memiliki lingkaran teman dalam satu kajian, kata dia, hal itu memberikan pengaruh ikatan emosional luar biasa yang saling membantu satu sama lain.

Mempunyai teman yang bisa melindungi, bahkan ketika masuk dalam ranah melanggar hukum, itulah yang membuat Abu Fida merasa nyaman dengan jaringan yang terlibat terorisme. “Faktor bacaan memang berpengaruh atas tindakan radikalisme, tapi teman yang paling mengikat atas tindakan itu,” ucap Abu Fida yang dikenal sebagai narapidana terorisme (napiter) tiga zaman ini.

Abu Fida mencontohkan, ikatan pertemanan yang kuat membuatnya diminta seorang rekan untuk menyembunyikan gembong teroris Dr Azahari dan Noordin M Top mulai 2004. Dia pun menunaikan tugasnya dengan baik untuk melindungi teroris asal Malaysia itu hingga Noordin akhirnya tewas ditembak Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri.

Kemudian, langkahnya tercium aparat Densus 88. Abu Fida mengaku, diringkus Densus 88 di Sukoharjo atas pengakuan temannya yang lebih dulu ditangkap aparat. Temannya itu adalah Adung atau Sunarto bin Kartodiharjo, tersangka kasus Bom Bali pada 2002, yang diciduk sebulan sebelumnya.

Setelah menjalani hukuman, Abu Fida sempat kembali melalang buana ke Suriah. Kemudian ia kembali ke Indonesia untuk berkiprah bersama jaringan ISIS. Pada 2014, atau tepat 10 tahun saat ditangkap pertama kalinya oleh Densus 88, ia kembali berurusan dengan korps antiteror Polri tersebut lantaran dugaan makar dengan terlibat deklarasi ISIS di Solo. Sempat dituntut oleh jaksa empat tahun, Abu Fida akhirnya divonis hakim tiga tahun penjara.

Setelah keluar sel dan tobat, ia mengisi hari-harinya dengan menjadi motivator dan pemateri untuk mengajak masyarakat, khususnya kalangan muda mewaspadai gerakan radikalisme dan terorisme. Menurut Abu Fida, orang menjadi teroris tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang. “Saya sejak 1985 memang ikut kelompok radikal. Bahkan jauh sebelum pecahnya NII menjadi JI, saya juga sudah ikut mengamati di sana. Meski ada banyak yang tak sepaham dan kemudian mengeluarkan saya,” ucap Abu Fida.

Dia juga mengingatkan, untuk mendanai aksi terorisme itu jangan dibayangkan membutuhkan dana besar. Hal itu berbeda dengan aksi Bom Bali yang memang didanai Osama bin Laden. Menurut dia, asal terbentuk jaringan yang kuat, kelompok tertentu bisa beraksi mengatasnamakan agama untuk melakukan jihad. Belum lagi, kata Abu Fida, untuk mendapatkan dana murah itu bukan merupakan hal sulit. Pun jaringan terorisme bisa kreatif dalam mendapatkan dana. Sehingga tidak benar jika ada anggapan pelaku teror harus memiliki dana melimpah terlebih dulu.

"Untuk membiayai sebuah amaliyah, itu dananya sangat murah. Dan dananya tidak miliaran atau triliunan. Dari yang saya amati, dana-dana sebuah aksi operasional ini murah. Maka itu, watak perangnya adalah watak perang dengan biaya murah. Dan kalau murah, dana bisa dari personal," kata Abu Fida membagikan pengalamannya di dunia terorisme.

Radikalisme internet

Eks napiter Arif Budi Setiawan alias Arif Tuban yang pernah aktif di JI juga mengakui, bacaan atau literasi tanpa bimbingan, serta pengaruh pertemanan menjadi faktor seseorang bisa terjerumus kepada tindak radikalisme. “Jadi peluang dua hal itu bisa 50-50,” kata Arif.

Dia menuturkan, proses rekrutmen dan penanaman pola pikir radikalisme saat ini, sangat memungkinkan terjadi dengan pola baru, yaitu hanya dengan internet. Bahkan, hal itu dipermudah ketika akses internet mendapat kemajuan setiap waktunya. Arif Tuban menyebut, setidaknya terdapat empat hal inti penyebaran paham radikalisme lewat internet.

Pertama, bagaimana pola radikalisme di internet, siapa sasaran radikalisme internet, kelanjutan tentang radikalisme internet pascarentetan Bom Surabaya 2018, dan apa yang bisa dilakukan milenial untuk membendungnya. “Terkait hal pertama ada lima narasi yang dibangun di internet,” katanya.

Dia mengatakan, narasi pertama merupakan propaganda ideologi, di mana hal itu mencakup akidah dan ilmu dasar lainnya. Berlanjut pada narasi kegelisahan yang membicarakan kemunduran umat Islam Indonesia, atau wilayah mayoritas Muslim lainnya dengan berbagai penderitaan. Narasi ketiga, sambung dia, memicu kegelisahan umat tertindas.

Hingga kemudian berlanjut pada narasi keempat, yaitu melanjutkan kegelisahan pada narasi perlawanan. Dan akhirnya tercapai langkah kelima, untuk menghasilkan narasi provokasi, yang mana hanya dimiliki kelompok radikalisme prokekerasan. “Yang perlu diwaspadai adalah narasi-narasi akhir. Karena narasi-narasi awal masih memiliki arah yang sama dengan kelompok Islam nonradikal,” ucap Arif Tuban.

Dia menegaskan, setiap orang bisa menjadi sasaran radikalisme di internet. Hanya saja, ada dua golongan yang dirasa menjadi kelompok masyarakat paling rentan terpapar radikalisme. Dua itu adalah, sambung dia, adalah orang yang baru belajar agama dan pemuda galau yang memilih mencari ilmu agama di internet. "Padahal tauhid yang mereka cari di internet itu bisa sangat berbahaya.”

Untuk membendung radikalisme di internet oleh milenial, lanjut Arif Tuban, pemikiran kritis dan memilih teman yang sesuai, menjadi tolok ukur utama agar terhindar dari radikalisme. Dia menyatakan, bagi milenial yang ingin belajar agama, perlu kiranya untuk didampingi guru atau ustaz yang sesuai agar pemikiran tidak sampai tersasar. “Pemikiran melenceng bisa jadi sudah ada. Tapi itu akan sia-sia kalau tak ada teman sepemikiran. Sejago apa pun teroris, pasti butuh teman untuk semua kebutuhan dan persiapan aksinya,” ujar Arif Tuban.

Kepala Seksi Partisipasi Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Letkol Setyo Pranowo menuturkan, tren terduga terorisme saat ini masih tinggi. Bahkan, ketika pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih diberlakukan, pemantauan terhadap mereka yang sudah diperhatian gerak-geriknya terus dilakukan. “Dulu, pertemuan atau pengajian kelompok radikal memang harus face to face. Tapi sekarang bisa di internet. Apalagi provokasi terkait itu, sudah menyembur,” ucap Setyo.

Dia menjelaskan, interaksi radikal di internet saat ini sudah bergeser dan mengalami kesulitan untuk pelacakan. Pihaknya menduga, interaksi melalui gim daring atau berbagai media sosial (medsos) menjadi upaya menjalin komunikasi yang dirintis jaringan terorisme guna menyulitkan petugas untuk melakukan pemantauan. Setyo mengakui, ada kekurangan yang saat ini belum bisa atasi BNPT, terutama terlalu banyaknya ajaran radikalisme di internet.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta agar semua elemen masyarakat ikut berpartisipasi dengan melaporkan dan mengawasi lingkungan sekitar dari kecurigaan aktivitas radikalisme. “Jadi internet itu sudah menjadi guru apa saja bagi siapa pun. Sehingga itu menjadi tugas BNPT untuk mengatasinya. Dan kita sudah punya alat untuk mendeteksi itu,” kata Setyo.

Meski begitu, pihaknya sudah mencoba mempersempit ruang gerak jaringan terorisme dengan menggandeng 38 kementerian dan lembaga negara untuk melakukan pengawasan dan penindakan. Bahkan, dua perangkat yang dimiliki BNPT, diklaim bisa memantau setiap aktivitas telepon genggam dan jejak internet. “Bisa lah kepantau semua HP kita, dan kalau ada tindak mencurigakan pasti ketahuan,” tambah Setyo.

Dia juga menyebut, aksi terorisme saat ini bisa dilakukan perorangan, tanpa adanya jaringan radikal sekali pun. Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir, pihaknya telah menciduk pelaku dugaan tindak radikal dengan aksi yang tak besar. Karena itu, pihaknya terus meningkatkan kewaspadaan supaya aksi teror bisa diantisipasi. "Pada 25 Maret lalu ada juga di Batang, 13 dan 17 April ada di Maluku, 24 April kemarin ada di Surabaya, dan 27 April bulan lalu ada di Serang,” tuturnya.

Ketika ditanya pola pembiayaan terorisme saat ini, Setyo menjawab, pola pembiayaan itu tak seperti dulu. Bahkan, pendanaan dari kelompok radikal atau pun luar negeri dianggap sudah tak berlaku lagi. Sebaliknya, kata dia, pola pendanaan bagi aksi teror saat ini semakin maju. Setyo membandingkan, jika pada beberapa tahun lalu pelaku biasa menggunakan dana ilegal yang digunakan, sekarang ada kecenderungan menggunakan dana yang tak terduga.

“Jadi sekarang sudah secara profesional, tidak hanya ilegal, tapi legal, resmi, bisa seperti itu. Bahkan, beberapa waktu lalu, dana pendukung radikal berasal dari perkebunan. Jadi sulit terlacak,” ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement