REPUBLIKA.CO.ID, Belgia, negara yang terletak di bagian barat Benua Eropa ini, menjadi rumah bagi tak kurang dari 500 ribu Muslim. Namun, tak jauh berbeda dengan kondisi Muslim di kawasan Eropa lainnya, umat Islam di negara dengan berbentuk monarki konstitusional ini, dihadapkan dengan berbagai insiden anti-Muslim selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2002, pembunuhan yang dilakukan karena alasan rasialis menyebabkan kerusuhan beberapa hari di Antwerp. Insiden ini memicu kontroversi ketika pemimpin kelompok Arab disalahkan oleh pemerintah.
Jumlah keluhan rasialisme meningkat beberapa tahun terakhir, banyak yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Laporan rutin tahunan Center for Equal Opportunity and Opposition to Racism menerangkan, sejak peristiwa 11/9, kasus diskriminasi dan rasisme yang menargetkan Muslim terus meningkat.
Pada 2003, lembaga independen antirasialisme dan diskriminasi ini menerima sekitar 2.500 aduan diskriminasi dan rasialis. Meski sebagian besar kasus berangkat dari soal ras dan etnis, motivasi agama juga tak bisa dipandang remeh. Sebanyak 7,5 persen keluhan tersebut muncul sebab alasan agama, khususnya yang berhubungan dengan hijab.
Para imigran juga mengalami diskriminasi dalam pekerjaan, perumahan, akses ke pelayanan publik, dan akses ke kepolisian. Menurut Komisi Eropa Anti-Rasisme dan Intoleransi, retorika anti-Muslim telah memengaruhi diskriminasi Muslim pada sektor pekerjaan dan perumahan, bahkan oknum di kepolisian juga tak berpihak kepada umat Islam.
Insiden demi insiden ini memicu keprihatinan dan kepedulian dewan lintas agama. Di level nasional, misalnya, sidang umum tahunan Komisi Ekumenis Nasional menyerukan toleransi antaragama. Sedangkan, di tingkat lokal, Keuskupan Katolik membentuk komisi dialog antarumat beragama.