Senin 25 May 2020 12:40 WIB

Farmasi Dunia Pernah Tolak Lacak Vaksin untuk Wabah

Adanya penelitian bisa memfasilitasi pengembangan vaksin sebelum wabah

Penelitian vaksin corona, ilustrasi
Foto: Antara/Umarul Faruq
Penelitian vaksin corona, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Perusahaan-perusahaan farmasi terbesar di dunia pernah  menolak proposal Uni Eropa mengenai pelacakan cepat  vaksin untuk patogen seperti virus Corona. The Guardian melaporkan, proposal tersebut memungkinkan pengembangan vaksin sebelum terjadinya wabah seperti sekarang ini. 

Rencana untuk mempercepat pengembangan dan persetujuan vaksin diajukan oleh perwakilan komisi Eropa yang duduk di Innovative Medicines Initiative (IMI) - kemitraan publik-swasta yang fungsinya mendukung penelitian mutakhir di Eropa. Proposal tersebut  ditolak oleh mitra industri di dalam IMI.

Perwakilan Komisi Uni Eropa tersebut mengungkapkan, adanya  penelitian dapat memfasilitasi pengembangan dan pengaturan vaksin terhadap patogen prioritas sejauh mungkin sebelum wabah yang sebenarnya terjadi. Meski demikian, perusahaan-perusahaan farmasi di IMI tidak menerima gagasan itu.

Usulan tersebut terkandung dalam sebuah risalah yang diterbitkan oleh Corporate Observatory Europe (COE), pusat penelitian yang berbasis di Brussels. COE memeriksa keputusan-keputusan IMI yang memiliki anggaran 5 miliar Euro (4,5 miliar Pound Sterling). IMI mendapat sumber dana dari Uni Eropa. IMI juga mendapatkan kontribusi dalam bentuk barang dari badan pribadi dan sebagainya.

Dewan pengurus IMI terdiri dari pejabat komisi dan perwakilan Federasi Industri Farmasi Eropa (EFPIA). Banyak anggota IMI merupakan nama-nama terbesar di sektor farmasi. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut yakni GlaxoSmithKline, Novartis, Pfizer, Lilly dan Johnson & Johnson.

Kurangnya kesiapan global untuk pandemi Covid-19 telah menimbulkan tuduhan dalam beberapa pekan terakhir jika industri farmasi telah gagal memprioritaskan penanganan untuk penyakit menular. Sikap mereka tersebut dituding karena penyakit menular kurang menguntungkan ketimbang kondisi medis kronis.

Bloomberg Intelligence melaporkan, dua puluh perusahaan farmasi terbesar di dunia melakukan sekitar 400 proyek penelitian baru dalam setahun terakhir.  Sekitar setengahnya berfokus pada pengobatan kanker sementara hanya 65 yang bertujuan kepada penyakit menular.

Sejauh ini, ada delapan vaksin potensial untuk virus Corona dalam uji klinis. Sayangnya,  tidak ada jaminan keberhasilan dalam pengembangan tersebut. Salah satu yang paling menjanjikan yakni pengembangan vaksin yang sedang dikembangkan di Oxford University. Pengembangan tersebut pun dilaporkan hanya memiliki peluang 50% untuk disetujui untuk digunakan.

Laporan COE menjelaskan, alih-alih "mengkompensasi kegagalan pasar" dengan mempercepat pengembangan obat-obatan inovatif, IMI lebih memprioritaskan penelitian vaksin dengan jalan bussiness as usual.

Penulis laporan mengutip komentar yang diposting di situs resmi IMI -- sudah dihapus --  menjual keuntungan dari inisiatif tersebut ke industri farmasi dengan tawaran penghematan biaya yang luar biasa. Proyek IMI tersebut mereplikasi pekerjaan yang harus dilakukan oleh masing-masing perusahaan".

Proposal pendanaan biopreparedness Komisi Eropa pada 2017 akan melibatkan penyempurnaan simulasi komputer, yang dikenal sebagai pemodelan silico. Program tersebut juga dapat meningkatkan analisis model pengujian hewan untuk memberikan regulator kepercayaan yang lebih besar dalam menyetujui vaksin.

photo
Pembahasan Covid-19 di markas Uni Eropa (ilustrasi). Uni Eropa beri bantuan 350 juta euro untuk mendukung ASEAN melawan COVID-19. - (EPA-EFE/JOHN THYS)

Perburuan vaksin Corona

Risalah rapat dewan pimpinan IMI sejak  Desember 2018 mengungkapkan proposal itu tidak diterima. IMI juga memutuskan menentang pendanaan proyek  Koalisi untuk Kesiapsiagaan Epidemi Inovasi, sebuah yayasan yang berupaya untuk mengatasi apa yang disebut penyakit menular prioritas seperti Mers dan Sars -- keduanya merupakan virus corona.

Menanggapi laporan itu, juru bicara IMI mengatakan penyakit menular dan vaksin telah menjadi prioritas sejak awal. Dia menyoroti proyek  20 Juta Euro yang dikenal sebagai Zapi. Proyek itu diluncurkan pada 2015 setelah pandemi Ebola dengan fokus terhadap biopreparedness.

IMI meluncurkan dana untuk "inovasi untuk mempercepat pengembangan dan pembuatan vaksin" pada bulan Januari. Juru bicara IMI mengatakan topik tentang penyakit menular  bersaing dengan prioritas lain pada saat proposal 2017, termasuk penelitian tentang tuberkulosis, penyakit kekebalan tubuh dan kesehatan digital.

"Laporan itu tampaknya menunjukkan bahwa IMI telah gagal dalam misinya untuk melindungi warga Eropa dengan memberikan kesempatan untuk mempersiapkan masyarakat bagi pandemi Covid saat ini," kata dia.

“Ini menyesatkan dalam dua cara: penelitian yang diusulkan oleh Komisi Eropa dalam topik biopreparedness memiliki cakupan yang kecil, dan berfokus pada meninjau kembali model hewan dan mengembangkan model silico untuk lebih mendefinisikan atau mengantisipasi jenis dan tingkat respon imun yang ditimbulkan pada hewan dan manusia untuk meningkatkan kepercayaan regulator terhadap basis bukti untuk prosedur perizinan alternatif. Proyek IMI telah berkontribusi, secara langsung atau tidak langsung, untuk lebih mempersiapkan komunitas penelitian untuk krisis saat ini, misalnya program Ebola + atau proyek Zapi,"jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement