Senin 25 May 2020 12:58 WIB

IPW: Pelimpahan Kasus Gratifikasi THR Sinergi KPK dan Polri

IPW mengatakan pelimpahan kasus gratifikasi THR bentuk sinergi KPK dan Polri.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane.
Foto: Twitter
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Police Watch (IPW) mengatakan pelimpahan berkas perkara kasus dugaan pemberian uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang melibatkan oknum universitas negeri di Jakarta serta oknum di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Polri, merupakan bentuk sinergi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penegak hukum lain.  IPW mengatakan, KPK tetap bisa memproses kasus tersebut jika sudah ada penyelenggara negara yang terlibat.

"Dari sini terlihat bahwa sinergi antara KPK dan polri dalam hal pemberantasan korupsi sudah terbangun," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/5). 

Baca Juga

Menurut Neta, meskipun sudah dilimpahkan, KPK tetap bisa memproses secara hukum siapa saja penyelenggara yang nantinya terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi. Neta melanjutkan, tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadal pejabat Kemendikbud adalah sebuah terobosan yang dilakukan lembaga anti rasuah itu. Sekaligus sebagai  sasaran antara untuk membersihkan dugaan korupsi di lingkungan perguruan tinggi. 

"Sebab isu-isu korupsi di lingkungan perguruan tinggi sudah menjadi rahasia umum, tapi belum pernah tersentuh KPK," ujarnya.

"Bagaimana pun perguruan tinggi harus diawasi dan dicermati dari segala bentuk kecurangan yang berbau korupsi maupun gratifikasi. Rektor seharusnya bertanggungjawab membebaskan perguruan tingginya dari korupsi dan gratifikasi," tambah dia. 

Ia menilai, dengan adanya koordinasi dan supervisi yang dilakukan lembaga antirasuah dengan instansi Polri, maka ke depan akan semakin solid dalam mengusut kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan pihak swasta.  Bahkan, kata dia, KPK bisa mengembangkan kasus tersebut untuk menjerat pihak lain apabila nantinya perkara tersebut disidangkan di pengadilan. 

"Dengan dilimpahkannya kasus OTT Kemendikbud ke Polda Metro Jaya, IPW berharap jajaran kepolisian bisa bekerja cepat untuk melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan Tipikor," tuturnya. 

Menurutnya, KPK juga bisa menyelidiki dugaan keterlibatan Rektor UNJ berdasarkan keterangan dan pernyataan terdakwa di persidangan. Tujuannya agar kasus itu bisa terungkap dengan jelas, apakah Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terlibat atau tidak. 

"Jika dalam perkembangan di pengadilan, ternyata Rektor UNJ terlibat, KPK harus kembali turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini. Selain itu, kerja sama KPK dan polri jangan pula sampai membuat lembaga anti rasuah tersebut menjadi ewuh pakewuh mengusut kasus korupsi di polri," katanya.

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai banyak kejanggalan terkait pelimpahan perkara yang dilakukan KPK.  Kurnia mengatakan terdapat beberapa dugaan  tindak pidana korupsi dalam perkara tersebut.  Pertama, berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ.  Dugaan kedua yakni tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ. 

"Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Kurnia. 

"Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu? Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara," tambahnya.

Untuk itu, karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah Rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara, maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. "Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?," ucap Kurnia. 

Sementara Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menegaskan, tangkap tangan terhadap Kabag Kepegawaian UNJ digelar atas permintaan bantuan Itjen Kemendikbud yang menduga adanya pemberian sejumlah uang THR kepada pejabat dan pegawai Kemendikbud yang diduga atas perintah rektor UNJ.

Dalam OTT terhadap Dwi Achmad Noor itu, KPK turut menyita barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dollar AS dan Rp 27.500.000.  Namun, kata Ali, Dwi Achmad Noor bukan termasuk penyelenggara negara menurut UU.  "Yang tertangkap menurut UU bukan masuk kategori Penyelenggara Negara," katanya. 

KPK, kata Ali, sering melimpahkan kasus kepada penegak hukum lain baik kepolisian maupun kejaksaan. Terlebih, setelah meminta keterangan sejumlah pihak, KPK tidak menemukan perbuatan pelaku penyelenggara negara dalam kasus THR pejabat Kemdikbud tersebut. 

"Kita tahu bahwa aparat penegak hukum lain ketika menangani perkara korupsi tidak dibatasi adanya unsur melibatkan PN, berbeda dengan KPK yang ada batadan Pasal 11 UU KPK. Ini perlu kami sampaikan agar Boyamin Saiman juga paham soal ini," katanya. 

Ali berjanji, KPK bakal kembali menangani kasus tersebut jika dalam perkembangan penanganan perkara ditemukan adanya unsur penyelenggara negara yang terlibat.  "Perlu kami sampaikan setelah penyerahan kasus, sangat dimungkinkan setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam," tegas Ali.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement