Senin 25 May 2020 14:13 WIB

Jepang Bersiap Hapus Status Darurat Nasional

Jepang mulai memberlakukan status keadaan darurat pada 7 April lalu.

Rep: Puti Almas/ Red: Hiru Muhammad
Sebuah spanduk imbauan agar orang-orang tinggal di rumah untuk menekan penyebaran COVID-19 dan pandemi coronavirus di kawasan pertokoan, Tokyo, Jepang, Senin (11/5). Awal bulan ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperpanjang keadaan darurat sampai akhir Mei 2020.
Foto: EPA-EFE/FRANCK ROBICHON
Sebuah spanduk imbauan agar orang-orang tinggal di rumah untuk menekan penyebaran COVID-19 dan pandemi coronavirus di kawasan pertokoan, Tokyo, Jepang, Senin (11/5). Awal bulan ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperpanjang keadaan darurat sampai akhir Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO--Pemerintah Jepang bersiap menghapus status darurat nasional yang diberlakukan selama pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) untuk Ibu Kota Tokyo dan empat prefektur di negara itu mulai Senin (25/5) hari ini. Dengan demikian, seluruh bisnis dimungkinkan untuk secara bertahap beroperasi kembali di Negeri Sakura tersebut.

Menteri Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura seperti dikutip lbcnews.co.uk mengatakan, para ahli panel telah ditugaskan untuk mengevaluasi rencana tersebut. Ia juga menilai bahwa status darurat tidak lagi diperlukan semua prefektur yang ada di Negeri Matahari Terbit. 

Para ahli diharapkan untuk menyetujui rencana pada pertemuan tersebut. Meski demikian, pengumuman resmi oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terkait pencabutan status darurat nasional selama pandemi Covid-19 belum diberikan hingga saat ini. 

Jepang mulai memberlakukan status keadaan darurat pada 7 April lalu, menyusul jumlah kasus Covid-19 yang meningkat di negara itu secara signifikan. Namun, tidak seperti aturan pembatasan yang ditetapkan banyak negara di Eropa ataupun China dengan adanya lockdown, Negeri Sakura memilih pendekatan yang ringan. 

Warga diminta untuk tetap berada di rumah masing-masing selama keadaan darurat berlaku kecuali pergi untuk berbelanja kebutuhan pokok, obat-obatan, atau mencari perawatan medis. Namun, bisnis-bisnis hanya disarankan untuk ditutup atau mengoperasikan jam kerja lebih pendek, yang dinilai sebagai strategi bertujuan meminimalisasi dampak kerugian ekonomi. 

Saat itu salah satu bisnis yang dikategorikan tidak penting dan ditemukan masih sering dibuka di Jepang adalah tempat bermain pacinko atau permainan ketangkasan yang juga dikenal sebagai judi legal di negara itu. Sesuai hukum yang berlaku, pemerintah tidak dapat memaksakan penutupan atau memberi sanksi meski sejumlah pejabat daerah melakukan cara agar orang-orang tak ada yang keluar, membuat bisnis seperti itu dipaksa dengan sendirinya untuk tutup sementara.

Namun, kini dalam satu pekan terakhir lebih banyak orang di Jepang yang telah kembali bekerja, berbelanja, dan bepergian ke tempat-tempat lain di bawah "gaya hidup baru" yang menetapkan aturan agar orang-orang tidak terinfeksi virus corona jenis baru. Di antaranya jarak fisik atau sosial dan penggunaan masker di seluruh area publik. 

Menurut Nishimura, jumlah kenaikan kasus Covid-19 di Jepang telah mulai melambat sehingga sistem kesehatan berada di bawah tekanan lebih rendah. Karena itu, Jepang dinilai harus melanjutkan kembali aktivitas sosial dan ekonomi meski secara bertahap mengingat ancaman virus terus ada. 

Jepang memiliki 16.580 kasus Covid-19 dan 830 kematian. Sementara itu, jumlah pasien yang dinyatakan pulih sebanyak 13.413 orang. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement