REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, Berikut ini merukan sebagian cupikan tulisan karya mendiang cendikiawan DR Nurcholis Madjid dalam bukunya yang sangat terkenal pada dekade awal 1990-an, 'Islam Doktrin dan Peradaban'. Buku yang terbit pada tahun 1992 ini banyak dianggap sebagai karya 'magnum ophus' Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid, red).
Buku terebut kala itu menjadi bahan perbincangan di kalangan publik intelektual yang saat itu mulai dan sangat bergairah mengkaji ajaran Islam bersamaan dengan 'booming'-nya kaum inteletual di kalangan kaum santri. Pro kontra terjadi. Namun saat itu menjadi hal yang sangat indah, misalnya dengan tidak adanya --atau mudahnya -- pihak yang tak sependapat melaporkan diri kepada 'hamba hukum' dengan dalih apa pun.
Mari kita nikmati sepenggal tulisan karya Cak Nur yang keren ini dengan topik 'Islam dan Sistem Sosial Kolonial Hindia Belanda'. Begini tulisannya.
--------------------
Kedatangan orang-orang Barat ke Nusantara juga mempunyai dampaknya sendiri bagi agama Islam. Pertama, para ahli banyak yang mengatakan bahwa ditaklukkannya Malaka oleh Portugis menyebabkan banyak para cendekia-wan, artisan dan pedagangnya menyebar ke seluruh Asia Tenggara, sambil membawa dan menyiarkan
Islam. Kedua, agama Islam itu sendiri telah melengkapi penduduk Nusantara dengan suatu senjata ideologis melawan orang-orang Barat yang datang menjajah. Secara politik dan ekonomi perlawanan itu gagal (seluruh Asia Tenggara praktis akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan kolonial Barat). Tetapi secara sosial dan budaya, boleh dikata perlawanan itu berhasil luar biasa.
Hal ini terbukti dari terbendungnya proses pengkristenan dan pembaratan Asia Tenggara, kecuali beberapa tenpat tertentu seperi Pulau Luzon dan sekitarnya (yang kelak menjadi bagian dari gugusan kepulauan Filipina). Pulau Jawa kurang lebih secara total terislam-kan, demikian pula sebagian besar Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta pulau-pulau sekitar masing-masing. Namun, sebagaimana telah disinggung, terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat intensitas dan kedalaman pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam dari satu tempat ke tempat lain.
Dan seluruh Nusantara pun akhirnya jatuh ke dalam pelukan kolonial-isme dan imperialisme Belanda. Masa penjajahan Belanda yang panjang itu melahirkan tambahan kondisi sosial-budaya baru yang juga harus kita perhitungkan. Kebijakan menjalankan pemerintahan (kolonial) secara tidak langsung (dengan menggunakan kelas elite tradisional setempat sebagai perantara) telah mengakibatkan susunan kemasyarakatan yang semakin diskriminatif. Pembagian kelas atas-bawah tradisional (antara lain sebagai sisa sistem kasta) semakin lebar oleh introduksi pendidikan dan keahlian modern kepada kelas atas. Wilayah Nusantara dibagi menjadi beberapa kawasan, dan bagi setiap kawasan itu ditetapkan kerucut sosialnya yang terdiri dari suku atau kelompok sosial tertentu setempat. Mereka ini diberi prioritas dalam memperoleh pendidikan modern (Barat, Belanda), dan disiapkan untuk mengisi susunan piramidal pemerintahan kolonial.
Pendidikan modern itu sendiri, sekalipun dari Negeri Belanda bertitik tolak pada pertimbangan kemanusiaan (―Politik Etis‖ yang terkenal), namun dalam pelaksanaannya justru mempertajam dan memperburuk stratifikasi sosial masyarakat Nusantara. Sementara pemerintah kolonial berkehendak untuk berbagi budaya modern dengan penduduk Hindia Belanda, namun mereka tetap mempertahan-kan pertimbangan diskriminatif dalam melaksa-nakan ―maksud baik‖ itu.
Pertama-tama mereka menyelamatkan hak istime-wa mereka sendiri sebagai ―kelas kulit putih‖ atau Eropa. Kemudian mereka teguhkan kedudukan yang diuntungkan dari golongan ―timur asing. Lalu mereka teruskan dukungan kepada golongan elite tradisional, dan mereka inilah yang secara khusus disiapkan sebagai pendiri birokrasi kolonial yang menengahi antara penguasa Belanda dengan rakyat banyak. Dan berada pada strata terendah susunan masyarakat kolonial itu adalah rakyat banyak itu sendiri, sebagai rakyat jelata. Dan di antara kaum pribumi, mereka yang memiliki afinitas kultural tertentu dengan pihak kaum kolonialis adalah dengan sendirinya yang paling diuntungkan dalam susunan masyarakat kolonial Hinda Belanda.
Pembagian kelas kolonial itu memperoleh wujud konkretnya dalam sistem pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah penjajahan. Untuk kelas kulit putih, kelas tertinggi dalam sistem itu, disediakan ―sekolah Eropa‖, yaitu Europeesche Lagere School (ELS). Untuk kelas timur asing disediakan jenis-jenis sekolah khusus sesuai dengan latar belakang etnis asal mereka: bagi keturunan Cina disediakan Hollandsch-Chineesche School (HCS), dan bagi keturunan Arab disediakan Hollandsch-Arabische School (HAS). Untuk kaum elite tradisional pribumi diselenggarakan Hollandsch-Indlandsche School (HIS) yang merupakan kelanjutan ―Sekolah (Pribumi) Kelas Satu‖ (Eerste Klasse School Jawa: Sekolah Ongko Siji).
Dan untuk rakyat umum, cukup dengan ―Sekolah Desa‖ atau ―Sekolah Rakyat‖ (Volksschool) yang merupakan kelanjutan ―Sekolah (Pribumi) Kelas Dua‖ (Tweede Klasse SchoolJawa: Sekolah Ongko Loro). Semuanya itu baru berakhir hanya setelah kedatangan Jepang.
Kita sekarang dapat membayangkan betapa tajamnya perbedaan kelas dalam masyarakat kolonial itu dengan melihat kenyataan bahwa pada tahun 1940, menjelang datang Jepang, dan 5 tahun sebelum kemerdekaan, jumlah HIS di Hindia Belanda hanya 285 buah dengan murid 72.514 orang, dan jumlah Sekolah Rakyat ada 17.719 buah dengan murid hanya hampir dua juta orang (tepatnya, 1.896.371 orang) (Lihat Harsja W. Bachtiar, ―Sekolah Dasar‖ dalam Tempo, Jakarta, 4 Januari 1992). Dan penduduk Hindia Belanda selebihnya yang berjumlah jutaan jiwa adalah kelas rakyat buta huruf belaka.
Karena berbagai faktor, khususnya faktor diskriminasi kolonial yang zalim itu, banyak dari kalangan penduduk yang hanya semata-mata diingkari haknya untuk menjadi peserta dalam pendidikan modern, meskipun mereka sebenarnya mau dan mampu. Karena deprivasi pendidikan modern ini, mereka secara formal juga termasuk ―kelas bawah‖ sistem kemasyarakatan kolonial Hindia Belanda, sekalipun dari segi lain, seperti kedudukan ekonomi dalam masyarakat dan fungsinya sebagai pemimpin rakyat (informal), mereka termasuk kelompok yang terpandang.
Dalam sistem stratifikasi sosial kolonial yang paling tidak diuntungkan dalam sistem pendidikan kolonial itu ialah mereka yng diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebgai golongan Santri. Di bawah pimpinan para „ulamâ‟, golongan Santri yang juga disebut sebagai kelompok sosial yang paling banyak melahirkan wirausahawan pribumi itu merupakan golongan yang dalam hal pendidikan modern termasuk paling rendah.
Tetapi sebabnya tidak semata-mata politik kolonial yang diskrimi- natif terhadap mereka saja seperti dipaparkan di atas. Akibat negatif diskriminasi itu semakin diperburuk oleh sikap para Santri sendiri, di bawah pimpinan para „ulamâ‟, yang menempuh politik non-koperatif dengan Belanda, bahkan isolatif. Ketika pemerintah kolonial dengan segala ―itikad baik‖-nya (berdasarkan gerakan Kemanusiaan dan Sosialisme di Negeri Belanda yang menghasilkan ―Politk Etis), ingin menyertakan rakyat ―Hindia Belanda‖ dalam peradaban modern (Eropa) dengan antara lain memperkenalkan pendidikan modern (Belanda, Barat, sekuler) tersebut di atas, para „ulama‟ mengimbanginya dengan mengembangkan dan mendirikan lebih banyak pesantren-pesantren.