Selasa 26 May 2020 16:11 WIB

Pembukaan Mal Masih Dihantui Pelemahan Daya Beli

Rencana mulai membuka mal dinilai tidak berdampak signifikan terhadap konsumsi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas Dinas Kesehatan Kota Sragen mengambil sampel darah kepada karyawan dan pengunjung Pusat Perbelanjaan di Sragen, Jawa Tengah, Jumat (22/5).
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Petugas Dinas Kesehatan Kota Sragen mengambil sampel darah kepada karyawan dan pengunjung Pusat Perbelanjaan di Sragen, Jawa Tengah, Jumat (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, rencana pemerintah untuk mulai membuka mal atau pusat perbelanjaan tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sebab, daya beli masyarakat masih mengalami tekanan setidaknya sampai pada kuartal III 2020.

Bhima menuturkan, lemahnya daya beli menyebabkan permintaan ke sektor retail juga akan terbatas. "Oleh karena itu, diperkirakan kebijakan pelonggaran masih belum menolong tenant ataupun pekerjanya," tuturnya ketika dihubungi Republika, Selasa (26/5).

Banyak kelompok masyarakat yang mengalami pukulan pada pendapatan mereka sejak pandemi Covid-19. Bahkan, beberapa di antaranya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun dirumahkan, sehingga kemampuan mereka untuk belanja pun melemah.

Untuk mengantisipasi ini, Bhima menganjurkan pemerintah fokus memperbesar jaring pengaman sosial, terutama bagi pekerja rentan miskin. "Bukan sebaliknya, membuka mal, di saat pandemi masih memakan korban," katanya.

Selain daya beli, Bhima menambahkan, sektor hulu yang masih belum melakukan ekspansi menjadi permasalahan berikutnya. Sampai saat ini, industri diketahui masih sulit mendapatkan bahan baku karena pandemi mengganggu rantai pasok di seluruh dunia. Dampaknya, sektor retail sebagai hilir dari rantai pasok akan tetap melambat.

Biaya operasional tenant pun diprediksi membengkak. Sebab, mereka harus menanggung protokol kesehatan sendiri yang tidak difasilitasi oleh pemerintah. Misalnya, penyediaan masker dan hand sanitizer hingga kebijakan menjaga jarak.

Sebelumnya, Selasa (5/5), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,84 persen. Pertumbuhan ini melambat signifikan dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang masih tumbuh hingga 5,07 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal pertama. Sebab, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta maupun provinsi lain di Jawa baru intensif dilakukan pada awal-awal kuartal kedua. 

"Jadi, bayangkan kuartal kedua, di mana April dan Mei ada PSBB yang meluas, maka konsumsi pasti mengalami drop jauh lebih besar," tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR secara virtual, Rabu (6/5).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement