REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Roni Tabroni*
Bukan hanya sekadar perlu untuk kepentingan industri, peran lembaga media (pers) begitu vital bagi hidup dan tumbuhnya demokrasi di sebuah negeri. Menjadi penyeimbang dalam proses penyelenggaraan negara, pers menjadi entitas yang tidak bisa diremehkan. Jangan mengaku negara demokrasi jika kehidupan persnya dikebiri.
Di saat musim pandemi Covid-19, kehidupan pers di berbagai negara terkena dampaknya. Begitupun di Indonesia, dipastikan perusahaan media, apapun platformnya, mengalami kesulitan. Media cetak kesulitan terbit, versi elektronik (televisi dan radio) mengalami peningkatan pemirsa tetapi menurun secara kue iklan, pun bagi media massa online.
Nasib buruk yang menimpa perusahaan media memang di luar kendali dan kuasa, siapapun pemiliknya. Biasanya, perusahaan media mengeruk untung dari setiap bencana atau krisis, karena semakin banyak diminati publik yang mencari konten. Karena banyaknya yang mengakses media, maka penjualan media cetak meningkat dan rating media siaran juga meningkat tajam.
Dari peningkatan oplah dan rating itulah (termasuk media online dari clickbait), kemudian mendapatkan pundi-pundi iklan yang lumayan. Kualitas media akan sangat dipengaruhi oleh tingginya aksesibilitas publik terhadap media itu. Semakin tinggi penjualan, dan semakin tinggi penonton atau pendengar, maka media akan semakin kuat, karena iklan akan semakin banyak yang masuk.
Tapi di tengah pandemi Covid-19, teori oplah dan rating itu tidak berlaku. Artinya, tidak berbanding lurus antara aksesibiltas publik dengan order iklan yang masuk. Bukan mubazir, tetapi dikala iklan semakin minim yang masuk, maka tingginya pembaca dan penonton seolah-olah tidak penting.
Persoalan utamanya ada pada krisis ekonomi yang merata. Dampak Covid-19 menyasar berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk perusahaan-perusahaan dan lembaga negara yang selama ini penyumbang iklan media, semuanya mengencangkan ikat pinggang. Belanja iklan diminimalisir bahkan sebagiannya menghilangkan sama sekali. Semua fokus pada pertahanan hidup, membayar karyawan yang tidak kerja, sampai pengalihan pada anggaran untuk penanganan Covid-19.
Kondisi inilah yang membuat berbagai perusahaan pers mengalami krisis serius. Dalam berbagai Webinar terungkap jika perusahaan media sudah tidak lagi mengelak akan kondisi yang sangat berat ini. Bahkan konferensi pers yang dilakukan SPS pertengahan Mei 2020 membuktikan hal itu. Pemerintah diminta kepeduliannya untuk menyelamatkan perusahaan pers, karena tidak ada satu ahli pun yang angkat bicara bagaimana cara menyelamatkan dunia media.
Ada kehawatiran dari beberapa kalangan, jika pemerintah membantu perusahaan pers, maka sikap kritis media akan tumpul. Kemudian fungsi kontrol akan semakin meredup bahkan bisa jadi hilang sama sekali. Namun ada pandangan yang cukup solutif, bahwa bantuan yang dipinta lembaga adalah anggaran dari publik, dalam berbagai bentuk kompensasi, dan nanti akan dikembalikan lagi oleh media dalam bentuk layanan informasi yang bermutu kepada publik.
Selain hanya berharap kepada pemerintah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memiliki sejumlah anggotanya, telah mendata siapa dan berapa banyak yang terdampak oleh pandemi Covid-19 itu. Dari data itulah kemudian AJI melakukan penggalangan dana kepada publik secara suka rela. Apa yang dihasilkannya akan digunakan untuk membantu para jurnalis yang dirumahkan, yang mengalami keterlambatan pembayaran gaji, termasuk yang mengalami pemotongan penghasilan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi pers, pemerintah, dan oleh masyarakat itu sendiri, goals-nya adalah penyelamatan lembaga pers. Dengan menyelamatkan institusi pers, sesungguhnya kita sedang mengelamatkan fungsi pilar keempat demokrasi. Itu artinya, ada yang jauh penting dari perusahaan pers sendiri, yaitu spirit jurnalisme yang hidup dan tetap tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Secara sosial, dunia jurnalisme yang terus hadir dalam rangka melayani kebutuhan informasi masyarakat, menjadi lebih penting karena kini publik tidak jarang dibingungkan dengan konten media sosial yang tidak berkualitas bahkan cenderung hoaks.
Menyelamatkan semangat jurnalisme artinya kita berupaya menjaga kualitas informasi yang sangat dibutuhkan publik. Sebab di tengah krisis pandemi Covid-19, kebutuhan informasi bagi publik bukan hanya ada, tetapi juga berkualitas. Berkualitas artinya di situ ada proses pencarian yang benar, produksi dan distribusi yang standar. Sedangkan secara konten, bisa dipertanggungjawabkan karena sudah melalui peroses seleksi dan perivikasi yang cukup ketat.
Ke depan memang dibutuhkan model bisnis baru. Perlu format pemikiran alternatif yang membawa tradisi jurnalisme yang tahan krisis, dan dapat memastikan bahwa tradisi jurnalisme tidak akan mati. Jadi yang sedang kita bicarakan tidak hanya sekedar perusahaan pers dengan lebel-leber tertentu yang sesungguhnya dimiliki oleh para konglomerat, tetapi yang kita perbincangkan adalah tradisi jurnalisme yang dapat menjadi spirit semua orang, baik di institusi besar, sedang, kecil, maupun yang bergerak secara pribadi-pribadi. Dengan begitu, negara demokrasi seperti Indonesia akan tetap memiliki kontrol yang berimbang dan sehat.
*Penulis adalah Pengamat Media dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung