Rabu 27 May 2020 16:49 WIB

Isu Pajak di Tengah Polemik Kenaikan BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran peserta dinilai bukan solusi atas permasalahan defisit BPJS Kesehatan.

Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- udah sekitar tiga bulan Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna meredam pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selama itu —sejak Maret 2020, teramat banyak peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik terkait dengan PSBB maupun tidak. Hampir setiap regulasi mendapatkan sorotan publik, dan tidak sedikit yang menuai kontroversi dan menjadi polemik.

Salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini merupakan revisi atas ketentuan sebelumnya (Perpres Nomor 75 Tahun 2019) yang melalui Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) menetapkan kenaikan hampir 100 persen iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020, sebelum kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Dalam putusannya (Nomor 7 P/HUM/2020), MA berpendapat kenaikan iuran peserta bukan solusi atas permasalahan defisit BPJS Kesehatan yang dinilai akibat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional.

Namun, pemerintah selalu punya cara untuk menyiasati ketentuan. Alih-alih mengembalikan iuran peserta yang sudah terlanjur dinaikan sejak Januari 2020, pemerintah justru memoles ulang kenaikan iuran BPJS kesehatan —dengan menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020— di saat masyarakat tengah mengencangkan ikat pinggang akibat tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp 80 ribu menjadi Rp 150 ribu, kelas II naik 96,07 persen dari Rp 51 ribu menjadi Rp 100 ribu, dan kelas III naik 37,25 persen dari Rp 25.500 menjadi Rp 35 ribu.

Earmarking Tax

Akar persoalan dari kenaikan iuran jaminan kesehatan tidak lain adalah defisit anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang semakin membengkak. Berdasarkan Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan tahun 2019, sebagaimana tertuang dalam putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020, pengeluaran pembiayaan kesehatan direncanakan sebanyak Rp 102,02 triliun dan pemasukan diperkirakan Rp 88,8 triliun, sehingga selisih defisit ditaksir Rp 14 triliun.

Apabila ditambah dengan defisit 2018, pemerintah memperkirakan defisit akan melebar sekitar 27-32 persen menjadi Rp 28 triliun sampai Rp 32 triliun di akhir tahun 2019. Dengan defisit JKN tersebut, BPJS Kesehatan diasumsikan tidak akan mampu membayar klaim layanan kesehatan sekitar empat bulan. Bahkan berdasarkan perhitungan aktuaria terbaru, defisit BPJS Kesehatan diproyeksi akan menembus Rp75 triliun di tahun 2023. Atas pertimbanagn itulah pemerintah untuk kesekian kalinya menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Mahkamah Agung punya catatan lain mengenai defisit BPJS Kesehatan. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa salah satu penyebab defisit JKN disinyalir karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan. MA juga mempertimbangkan kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BPJS Kesehatan dan kenaikan iuran peserta yang telah dilakukan terbukti tidak mampu mengatasi persoalan defisit JKN.

Atas dasar itu, MA menilai defisit JKN tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019. MA menegaskan pemerintah harus mencari jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan pelaksanaan JKN tanpa harus memaksa masyarakat menanggung kerugian yang ditimbulkan.

Selain harus manut terhadap putusan MA, pemerintah sebenarnya punya opsi lain untuk menambal defisit JKN. Misalnya, dengan menerapkan earmarking tax, berupa penggunaan instrumen perpajakan untuk mengatasi permasalahan kesehatan. Earmarking tax merupakan pemungutan jenis pajak tertentu untuk tujuan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, penerimaan pajak tersebut digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tujuan dan peruntukannya.

Penggunaan dana bagi hasil cukai dan pajak rokok daerah merupakan salah satu earmarking tax yang seharusnya bisa dioptimalkan pemungutan dan peruntukannya. Earmarking tax ini juga sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 39/2007 tentang Cukai, yang menugaskan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

Kendati hanya sebagai alat pengendali konsumsi, sumbangan cukai terhadap penerimaan negara ternyata cukup signifikan, jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran JKN setiap tahunnya. Artinya, kalau saja penerimaan cukai diperuntukan separuhnya untuk JKN, operasional BPJS Kesehatan tidak seharusnya terkendala defisit.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement