Kamis 28 May 2020 00:02 WIB

Waketum MUI: Penerapan Herd Immunity Berisiko Besar

Rakyat hanya akan menjadi kelinci percobaan dalam penerapan herd immunity.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agus Yulianto
KH Muhyiddin Junaidi
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
KH Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyiddin Junaidi menyampaikan, para pakar menegaskan bahwa penerapan herd immunity di Indonesia saat ini tanpa dibarengi dengan stimulus ekonomi kerakyatan yang adil, justru akan menimbulkan risiko besar bagi rakyat. Rakyat hanya akan menjadi kelinci percobaan dalam penerapan herd immunity.

"Mereka yang tak punya imunitas tubuh yang kuat pasti akan jadi korban," kata KH Muhyiddin melalui pesan tertulis kepada Republika, Selasa (26/5).

Dia menyampaikan, Presiden Joko Widodo mengunjungi mal untuk meninjau kesiapan prosedur normal baru (new normal) di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Artinya normal baru di era pandemi Covid-19 secara tidak langsung sudah digaungkan.

Sehubungan dengan itu, MUI menegaskan, bahwa kebijakan tersebut seharusnya melalui kajian komprehensif dengan melibatkan semua stakeholder di negeri ini. "Kita masih sangat khawatir dengan peningkatan kurva masyarakat yang terpapar Covid-19, MUI tak sejalan dan menolak penerapan herd immunity hanya dengan alasan penyelamatan ekonomi tanpa adanya penerapan PSBB secara sungguh-sungguh dan di bawah satu komando yang jelas dan tegas," ujarnya.

Dia menegaskan, MUI menolak kebijakan herd immunity atas nama lain, karena penyelamatan jiwa harus lebih diutamakan daripada penyelamatan ekonomi saja. Pemerintah harus menjelaskan kepada publik kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat.

KH Muhyiddin juga menyampaikan, pembukaan kembali masjid, mushala, majelis taklim, dan rumah ibadah lainnya ini sangat penting. Agar kebijakan relaksasi tersebut mendapat dukungan masyarakat luas. Tapi, dengan tetap mengikuti protokol kesehatan nasional.

"Pembukaan pusat perbelanjaan dinilai sebagai upaya penyelamatan ekonomi atau dalam perspektif fikih hifzul mal, tetapi kebijakan tersebut dinilai oleh banyak pakar masih berbau kontra versial dan immature," ujarnya.

KH Muhyiddin menyampaikan, ada kesan bahwa Indonesia meniru langkah beberapa negara yang sudah menerapkan relaksasi seperti Malaysia, India dan beberapa negara lain di Asia dan Eropa. Tapi, publik sudah sangat paham bahwa para pemilik mal dan pusat perbelanjaan modern di seluruh negeri adalah mereka yang punya kedekatan secara politik dengan pusat kekuasaan.

Jadi sangat logis jika relaksasi tersebut terkesan bahwa pemerintah mendapatkan tekanan untuk melakukan relaksasi. Sementara itu angka kurva masyarakat yang terpapar Covid-19 masih tinggi dan kebijakan baru pemerintah belum diumumkan secara resmi.

"New normal seharusnya dijadikan sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara, bukan sekedar penerapan pola hidup empat sehat lima sempurna, tapi juga pola hidup yang religius, adil, bebas dari korupsi, kemaksiatan, kezaliman, kebohongan dan penerapan prinsip kesamarataan di depan hukum," jelasnya.

KH Muhyiddin mengatakan, pemerintah yang saat ini sudah punya amunisi kuat dari DPR diminta agar tidak bersikap jumawa dan otoriter dalam menerapkan kebijakan publik. Begitu juga DPR harus mengoptimalkan fungsinya sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai politik saja. Saat mereka jadi anggota DPR, otomatis mereka jadi wakil rakyat Indonesia.

"MUI minta agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang sama tentang rumah ibadah secepat mungkin agar umat tenang beribadah," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement