Kamis 28 May 2020 07:14 WIB

Palestina Sebut Berhak Membekukan Kesepakatan Oslo

Palestina meyakini aneksasi hanya akan mendorong negara lain mengambil tindakan sama.

Rep: umar mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Palestina Sebut Berhak Bebas dari Kewajiban Kesepakatan Oslo. Orang Palestina saat terusir dari rumahnya (atas). Rumah orang Palestina di msa kini yang sudah jadi milik orang lain, warga Israel (bawah).
Foto: uttiek m panji astuti
Palestina Sebut Berhak Bebas dari Kewajiban Kesepakatan Oslo. Orang Palestina saat terusir dari rumahnya (atas). Rumah orang Palestina di msa kini yang sudah jadi milik orang lain, warga Israel (bawah).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Otoritas Palestina menyatakan akan menanggapi pertanyaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) hingga batas waktu 10 Juni mendatang. Jawaban tersebut untuk menjelaskan status Kesepakatan Oslo dan untuk mendebatkan bahwa melanggar perjanjian adalah hak berdaulat.

ICC meminta penjelasan mengenai masalah tersebut pada Selasa (26/5) waktu setempat. Permintaan ini kemungkinan memiliki konsekuensi untuk yurisdiksinya dalam menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina.

Baca Juga

Kepala Departemen untuk Urusan PBB, Kementerian Luar Negeri Palestina, Omar Awadallah, mengatakan, keputusan Otoritas Palestina mengakhiri kesepakatan dengan Israel seharusnya tidak berdampak pada pengadilan internasional. Menurut dia, hal itu tidak memengaruhi status Palestina sebagai negara dalam perbatasan 1967, yang diakui oleh sebagian besar negara di dunia dan dengan status pengamat di PBB sejak 2012.

Berdasarkan perjanjian internasional, Awadallah melanjutkan, Palestina memiliki hak menyatakan mereka bebas dari kewajiban perjanjian atau untuk membekukan perjanjian. Dia mengatakan, pendapat inilah yang akan disampaikan majelis hakim ICC sebagai bagian dari tanggapan.

Sementara itu, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menyampaikan pernyataan kepada para duta besar di negara-negara Arab dalam pertemuan di kantor Rammallah, Rabu (27/5). Pernyataan itu menegaskan pemerintahnya, di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas, bertekad melaksanakan keputusannya.

"Otoritas Palestina telah mulai menerapkan keputusan ini di lapangan dengan menghentikan hubungannya dengan Israel di semua tingkatan. Israel telah menanggapi dengan mengambil langkah-langkah yang bertujuan menggagalkan rencana Otoritas Palestina, menghasut para pemimpin Palestina," ucapnya dilansir dari Haaretz, Kamis (28/5).

Shtayyeh juga menyambut reaksi internasional dan posisi yang diambil oleh negara-negara Arab, yang menyatakan perlawanan mereka terhadap aneksasi. Meski begitu, dia meminta komunitas internasional untuk melangkah lebih jauh dan menekan Israel. Duta besar Maroko untuk Palestina, Mohammed al-Hamzawi, mengungkapkan aneksasi akan menghancurkan solusi dua negara dan stabilitas di kawasan itu.

Dalam laporan Haaretz, Otoritas Palestina meyakini aneksasi hanya akan mendorong negara lain untuk mengambil tindakan serupa. Misalnya, Iran dengan pulau-pulau di Teluk Persia dan Turki dengan klaim historisnya terhadap sebagian Siprus.

"Dunia, termasuk negara-negara Arab, harus membaca peta dengan benar. Lampu hijau dari Gedung Putih ke Israel akan mendorong perilaku serupa dari negara-negara lain, yang dapat menyebabkan eskalasi," kata seorang pejabat Palestina kepada Haaretz.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement