Kamis 28 May 2020 16:15 WIB

Alasan Mengapa Imam Malik Menghukumi Puasa Syawal Makruh

Imam Malik berpendapat puasa enam hari Syawal makruh.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Imam Malik berpendapat puasa enam hari Syawal makruh. ilustrasi puasa syawal
Foto: republika/mgrol101
Imam Malik berpendapat puasa enam hari Syawal makruh. ilustrasi puasa syawal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mayoritas ulama mazhab fiqih berpendapat puasa enam hari Syawal hukumnya adalah sunnah, berbeda dengan Imam Malik. Tokoh ulama Madinah tersebut berpandangan justru puasa enam hari Syawal makruh hukumnya.

Mengapa demikian? Ustadz Ahmad Zarkasih dalam bukunya "Yang Harus Diketahui Dari Puasa Syawal" memjelaskan Imam Malik di Madinah bukan tidak tahu adanya hadits Abu Ayyub al-Anshariy dalil kesunnahan puasa enam hari Syawal.   

Baca Juga

"Justru Imam Malik paling tahu tentang hadits, toh beliau juga seorang ahli hadits (muhaddits) dan dikenal sebagai imam mazhab yang sangat kuat sekali dalam pengamalan hadits di setiap fatwa-fatwa  beliau," ujarnya.  

Akan tetapi yang perlu diketahui bahwa hadits Abu Ayyub al-Anshariy ini, walaupun sahih, hadits ini menyelisih ‘amal ahl Madinah (pekerjaan penduduk Madinah), dan lebih dari itu, jalur periwayatannya adalah ahad (tunggal), yaitu diriwayatkan satu orang di setiap tingkatan sanadnya. Jadi hadisnya, bukan hadits mutawatir yang diriwayatkan orang banyak dalam setiap tingkatan sanad.  

Imam Ibnu Abdil-Barr, ulama terkemuka dari Mazhab Maliki mengatakan dalam kitabnya al-Istidzkar (3/379), "Imam Malik menyebutkan perihal puasa enam hari Syawal bahwa beliau tidak pernah melihat seseorang dari kalangan ahli fiqih dan ahli ilmu yang berpuasa enam hari Syawal, beliau (Imam Malik) juga berkata, ‘Tidak satu pun riwayat yang sampai kepadaku tentang puasa syawal dari salah satu ulama salaf’.” 

Ustadz Ahmad mengatakan, Mazhab Imam Malik memang terkenal sekali sebagai madzhab yang menggunakan ‘amal ahl Madinah sebagai sandaran hukum (mashdar al-Syari’ah).

Ketika ada hadits ahad yang mana kandungannya itu bertentangan dengan pekerjaan penduduk Madinah, walaupun itu sahih, yang dimenangkan ialah pekerjaan penduduk madinah. 

Mengapa warga Madinah? Ustadz Ahmad mengatakan, apa yang dilakukan dan dipraktikkan Imam Malik dalam fatwa beliau terkait ‘amal ahl Madinah bukan tanpa alasan. Hadits ahad yang sahih tidak langsung diamalkan jika itu memang bertentangan dengan pekerjaan penduduk Madinah. "Berbeda dengan hadits mutawatir yang langsung diamalkan tanpa melirik pekerjaan penduduk Madinah," katanya. 

Menurut Ustadz Ahmad, Nabi SAW selain di Makkah beliau membangun syariah juga di Madinah, bisa dikatakan bahwa Madinah adalah mahall al-tasyri’ (tempat/kota pensyariatan) yang mana banyak syariat-syariat Islam diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad ketika beliau di Madinah.   

Dan ketika syariat itu diturunkan, Nabi SAW pasti menginformasikan kepada para sahabat, lalu dijalankan syariat itu oleh para sahabat. Sampai akhirnya Nabi SAW meninggal syariat yang pernah diturunkan dan dijalankan tidak mungkin hilang terus dijalankan dan turun menurun kepada generasi-generasi selanjutnya setelah sahabat, yang akhirnya itu menjadi kebiasaan yang biasa dilakukan penduduk Madinah. 

"Artinya bahwa ‘amal ahl Madinah itu diriwayatkan bukan hanya satu orang, akan tetapi diriwayatkan oleh seluruh penduduk negeri," kata Ustadz Ahmad.    

Dan ketika sampai pada masanya Imam Malik, beliau justru tidak melihat ada orang alim dan juga para ahli fiqih di Madinah yang berpuasa enam hari Syawal setelah Ramadhan sebagaimana kutipan perkataan beliau di atas.  

Jadi, kata Ustaz Ahmad, seperti pendapat Imam Malik, kalau dibanding dengan hadits Abu Ayyub al-Anshariy yang hanya diriwayatkan satu orang disetiap tingkatan sanad, tentu jauh lebih kuat ‘amal ahl Madinah yang diriwayatkan penduduk satu negeri.  

Untuk itu, kata dia, menjadi wajar saja kalau memang Imam Malik lebih mengedepankan pekerjaan penduduk Madinah daripada hadits ahad, melihat bahwa memang Madinah dianugerahi sebagai tempat turunnya syariat. 

Untuk itu Imam Malik mengatakan. "Dan para ahli ilmu memakruh-kan itu (puasa 6 hari syawal), dan mengkhawatikan bahwa itu adalah sebuah bid’ah, dan (khawatir) kalau orang-orang awam mengganggap itu bagian dari Ramadhan (padahal bukan)”. (al-Istidzkar 3/379).

Karena itu tidak dikerjakan para ulama semasa hidup sang Imam, beliau khawatir bahwa itu adalah sebuah bidah yang terlarang, dan beliau juga sangat khawatir bahwa nantinya para orang awam menganggap itu bagian dari Ramadhan yang wajib dikerjakan, padahal tidak seperti itu. (al-Muntaqa’ Syarhu al-Muwatha’ 2/76, Mawahib al-Jalil 2/414). 

"Tapi sejatinya, kekhawatiran Sang Imam saat ini sudah tidak bisa dijadikan alasan atas kemakruhan puasa syawal, toh tidak ada orang awam zaman sekarang yang meyakini bahwa puasa syawal itu adalah sebuah kewajiban yang merupakan bagian dari Ramadhan. Tidak ada," katanya.

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement