REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Dessy Suciati Saputri, Antara
Ada sejumlah alasan yang diperkirakan menjadi penyebab pemerintah memutuskan kebijakan new normal. Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Sulawesi Selatan Ridwan Amiruddin menganalisa alasan pemerintah menerapkan kebijakan tatanan kehidupan normal yang baru atau new normal ketika kasus penularan virus corona SARS-CpV2 (Covid-19) masih terjadi. Ekonomi menjadi motif utama negara tetap memaksa kehidupan new normal dijalankan.
"Bagaimana ekonomi bisa tetap berjalan karena ternyata mengelola negara bukan hanya mengenai persoalan kesehatan, melainkan juga ekonomi. Ini tujuan diterapkannya new normal, sasarannya adalah tempat kerja, perusahaan swasta, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ujarnya di webinar bertema pasca PSBB dan Kehidupan Normal Baru, Kamis (28/5).
Padahal, dia melanjutkan, di masa krisis seperti ini, sektor kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama. Kemudian baru masuk bidang ekonomi, dan terakhir menekankan bidang reputasi.
Pria yang juga Guru Besar Epidemiologi Universitas Hasanuddin itu menyoroti persoalan keselamatan publik (public safety) di Indonesia yang belum tuntas tetapi kini sudah dipaksa masuk di bidang penyelesaian ekonomi. Dia menambahkan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilakukan karena pemerintah ingin menjalankan roda ekonomi, setelah itu menekankan bidang reputasi.
"Padahal sebenarnya pilar dari pengendalian virus corona Covid-19 ini adalah keselamatan publik (public safety). Makanya negara-negara lain menyelesaikan public safety terlebih dahulu baru masuk ke aspek ekonomi dan reputasi," ujarnya.
Di satu sisi meski kehidupan new normal ini dijalankan, Ridwan meminta edukasi kepada masyarakat tentang Covid-19 dan bahayanya, memakai masker wajah, cuci tangan, physical distancing, hingga menjaga imunitas tubuh harus tetap dilakukan. Kini ia meminta memakai masker harus menjadi kultur baru, hingga physical distancing jadi budaya baru.
"Kebiasaan ini harus menjadi kultur kehidupan new normal sehari-hari," ujarnya.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif sebenarnya menyayangkan pernyataan yang mengklaim kasus virus corona SARS-CoV2 mulai turun atau melandai. Alasannya Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah mengingatkan pandemi virus ini masih lama.
"Saya menyayangkan pernyataan Pak Anies dan Pak Jokowi yang menyebutkan kasus Covid-19 turun dan melandai, padahal istilah itu sangat teknis. Meski mudah dipahami artinya, tidak mudah menjelaskannya," ujarnya saat webinar bertema pasca PSBB dan Kehidupan Normal Baru, Kamis (28/5).
Sebetulnya, dia melanjutkan, indikator penurunan wabah bisa dijelaskan secara sederhana yaitu jika kasus harian Covid-19 konsisten turun selama tujuh sampai 14 hari. Jika penurunan kasus itu bisa terjadi, ia menyebutkan wabah bisa dikatakan terkendali.
Sedangkan faktanya, dia melanjutkan, kasus Covid-19 di Indonesia saat ini masih mengalami fluktuasi. Ia menyebutkan, dalam dua pekan terakhir, kasus Indonesia masih bertambah. Ini terlihat dari rata-rata kasus baru per pekan lalu sebanyak 535 dan minggu ini mencapai 677.
"Jadi, jelas penularan Covid-19 masih meningkat. Bahkan kita belum sampai puncak kasus," ujarnya. Indonesia, dia melanjutkan, saat ini masih terkendala dengan masalah pemeriksaan spesimen, hingga kapasitas pemeriksaan.
Ia memprediksi, jika kapasitas pemeriksaan spesimen bisa memenuhi target presiden yaitu 10 ribu per hari maka kasus baru Covid-19 yang terungkap antara 1.200 hingga 1.300 per hari. Karena itu, ia meminta pemerintah berhati-hati terkait masalah ini.
Apalagi, dia melanjutkan, masyarakat saat ini hanya diberikan data-data jumlah kasus Covid-19. "Memang ini penting untuk menghitung jumlah sumber daya manusia (SDM), tetapi untuk menyatakan risiko penularan penyakit sangatlah tidak tepat," katanya.
Ridwan Amiruddin menambahkan, kasus Covid-19 di Indonesia masih menuju titik puncak, jadi belum sampai pelandaian kurva. "Karena itu Indonesia terlalu cepat, terlalu dini melakukan kehidupan normal baru atau new normal," ujarnya.
Artinya, dia melanjutkan, new normal bisa diterapkan kalau syaratnya terpenuhi yaitu penularan virus terkendali. Padahal, ia menilai penularan virus di Indonesia masih tinggi dan belum cukup terkendali.
Ia menyontohkan diterapkannya kebijakan new normal di beberapa negara misalnya Jepang dengan beberapa kondisi. "Di antaranya Jepang melakukan pelonggaran setelah kurva (kasus positif Covid-19) melandai selama enam pekan," ujarnya.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan sampai Kamis (28/5), pukul 12.00 WIB, pasien yang dinyatakan sembuh dari Covid-19 bertambah lagi sebanyak 183 menjadi 6.240 dari 6.057 orang pada hari sebelumnya.
"Proses penularan masih terjadi. Artinya kita memang harus betul-betul lebih berdisiplin kembali untuk mematuhi seluruh anjuran pemerintah," katanya.
Yurianto mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan dari Rabu (27/5) pukul 12.00 WIB sampai dengan Kamis (28/5) siang, terdapat penambahan 687 pasien positif, sehingga total kasus naik menjadi 24.538 orang. Sementara korban meninggal dunia bertambah 23 orang menjadi 1.496 pasien.
Ia juga mengatakan jumlah orang yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) saat ini adalah 13.250 dan orang dalam pemantauan (ODP) sebesar 48.749.
Pada Kamis ini, pemerintah telah memeriksa 11.495 spesimen dengan menggunakan pemeriksaan realtime PCR (polymerase chain reaction) dan tes cepat molekuler (TCM), menambah total keseluruhan spesimen yang diperiksa menjadi 289.906 spesimen. Sementara itu, seluruh provinsi di Indonesia sudah mencatatkan kasus positif Covid-19 dengan 412 kota/kabupaten terkena dampak Covid-19.
"Kalau kita perhatikan betul, kenaikan (kasus) kita dapatkan cukup banyak di Provinsi Jawa Timur. Ini ada 171 kasus. Kemudian di Kalimantan Selatan sudah 116 kasus, di DKI Jakarta ada 105. Kemudian Sulawesi Selatan juga meningkat 46 dan di Sumatra Utara ada 30 kasus," katanya.
Sementara itu, provinsi yang tidak mencatatkan penambahan kasus sama sekali adalah Bangka Belitung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jambi, Kalimantan Utara, Lampung, Riau, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan, provinsi yang hanya mencatatkan penambahan satu kasus adalah Aceh, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan new normal atau tatanan baru akan diterapkan jika Reproduction Number (R0) di sejumlah provinsi telah menurun di bawah 1. Selain itu, new normal juga akan dilakukan jika sektor-sektor tertentu di lapangan mampu mengikuti tatanan baru tersebut.
“Akan kita mulai untuk tatanan baru ini, kita coba di beberapa provinsi dan kabupaten dan kota yang memiliki R0 sudah di bawah 1 dan juga pada sektor-sektor tertentu yang kita lihat di lapangan bisa melakukan mengikuti tatanan norma baru yang ingin kita kerjakan,” ujar Jokowi.
Presiden juga meminta agar protokol adaptasi tatanan normal baru yang telah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Sehingga masyarakat memahami apa yang harus dilakukan selama new normal berlangsung.