REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sedang mematangkan konsep New Normal agar perekonomian nasional kembali bangkit. Adapun konsep ini ditandai dengan mulai bergeraknya sektor riil ke lapisan masyarakat.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan konsep New Normal bukan berarti perekonomian dibawa kembali ke kondisi normal sebelum wabah.
"New Normal dimaksudkan untuk memulai kembali aktivitas ekonomi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Meskipun aktivitas ekonomi dibuka kembali perekonomian tetap akan mengalami perlambatan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/5).
Menurutnya ketika penerapan konsep New Normal direalisasikan maka konsumi masih rendah. Namun adanya pelonggaran aktivitas ekonomi maka pemburukan ekonomi bisa ditahan tidak terlalu dalam.
"Dengan perekonomian masih tetap mengalami perlambatan maka wajar saja bila pertumbuhan kredit juga akan sangat terbatas," jelasnya.
Piter menyebut selama masih terjadi wabah Covid-19 perekonomian masih dalam tekanan pemburukan. Bahkan risiko kredit masih akan sangat tinggi.
"Oleh karena itu fokus dari perbankan bukan kepada penyaluran kredit tetapi menjaga kualitas dari kredit yang sudah disalurkan utamanya melalui kebijakan restrukturisasi," ucapnya.
Selain melakukan restrukturisasi, menurut Piter industri perbankan akan lebih mengutamakan strategi peningkatan efisiensi. Setidaknya dengan mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu seperti biaya operasional maupun non operasional.
Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan konsep New Normal masih prematur, sehingga belum mampu menggerakan penyaluran kredit.
"Misalnya di sektor ritel mau dilonggarkan, tapi kurva kasus positif Covid-19 masih naik. Akibatnya konsumen yang masuk dalam kategori kelas menengah atas memilih untuk menahan belanja di mal karena khawatir penyebaran virus. Ini efeknya nanti ke kredit sektor perdagangan dan kredit konsumsi," jelasnya.
Bagi industri perbankan, menurut Bhima, sebelum pandemi terjadi, layanan digital memang sangat menolong apalagi di era paska pandemi. Bank yang berinvestasi besar besaran ke layanan digital akan memenangkan kompetisi.
"Sementara bank bank kecil akan kesulitan karena masih andalkan tatap muka secara fisik. Diperkirakan akan terjadi pergeseran nasabah dari bank bermodal kecil ke bank buku 3 dan 4 karena paling siap transformasi digital," ucapnya.
Menurutnya saat ini fokus perbankan akan makin membesarkan diri porsinya ke penyaluran kredit sektor jasa khususnya sektor informasi komunikasi dan jasa perusahaan digital (AI, Big data dsb). Sedangkan sektor yang berhubungan dengan industri manufaktur masih dihindari karena resiko relatif tinggi.
"Preferensi sektoral yang tepat dan pemilihan calon debitur yang lebih selektif akan menekan NPL," ucapnya.