REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menjelaskan rencana kehadiran 500 tenaga kerja asing (TKA) asal China sekitar akhir Juni atau awal Juli mendatang. Kedatangan mereka untuk mempercepat pembangunan smelter dengan teknologi RKEF dari China.
Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (28/5), menjelaskan rencana kehadiran 500 TKA China itu disebut-sebut seolah menggeser pekerja Indonesia. Teknologi RKEF diklaim bisa membangun secara ekonomis, cepat, dan memiliki standar lingkungan yang baik. Teknologi itu juga menghasilkan produk hilirisasi nikel yang bisa bersaing di pasar internasional.
"Kenapa butuh TKA dimaksud? Karena mereka bagian dari tim konstruksi yang akan mempercepat pembangunan smelter dimaksud. Setelah smelter tersebut jadi maka TKA tersebut akan kembali ke negara masing-masing. Pada saat operasi, mayoritas tenaga kerja berasal dari lokal," ungkap Jodi.
Ia memberi contoh di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, yang saat ini mayoritas sudah beroperasi secara penuh, mempekerjakan 39.500 tenaga kerja lokal dan 5.500 TKA. "Jadi, jumlah TKA kira-kira 12 persen dari total pekerja. Saya yakin jika proses pembangunan smelter yang baru sudah selesai, jumlahnya pun akan turun," kata Jodi.
Di Weda Bay, yang saat ini sebagian besar masih dalam fase konstruksi, jumlah tenaga kerja mencapai 8.900 orang, dengan perincian sebanyak 7.700 tenaga kerja lokal dan 1.200 orang TKA. Contoh lain ada di kawasan industri Virtue Dragon di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang beberapa waktu lalu juga menuai kritikan. Mereka memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 11.790 orang dengan komposisi 11.084 tenaga kerja Indonesia dan 706 TKA China.
"Jadi, kalau nambah 500 TKA untuk mempercepat progres konstruksi agar cepat beroperasi sehingga tenaga kerja lokal bisa lebih banyak diserap, apakah hal itu suatu yang salah? Jadi, TKA yang datang ini bukan malah mengambil pekerjaan dari tenaga kerja lokal, tapi justru untuk mempercepat penyerapan tenaga kerja lokal karena ketika sudah mulai beroperasi, tenaga kerja lokal akan mayoritas," katanya.
Jodi menuturkan, penciptaan lapangan kerja merupakan prioritas utama dari pemerintah. Ia meminta agar hal itu tidak dibalik dengan informasi yang menyesatkan.
Ia menambahkan, apa yang dijalankan pemerintah sekarang merupakan implementasi secara konsisten dari semangat Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya.
"Pemerintah sekarang yang mengeksekusi. Hasilnya selain penyerapan tenaga kerja lokal seperti yang sudah saya jelaskan adalah devisa ekspor. Pada 2014, ekspor besi baja sebagai produk hilirisasi nikel ini hanya 1,1 miliar dolar AS. Di 2019 angkanya melonjak menjadi 7,2 miliar dolar AS," katanya.
Nikel dinilai menjadi salah satu peluang untuk mentransformasi ekonomi karena Indonesia memiliki cadangan nikel paling besar di dunia, Mineral tersebut juga digunakan secara luas di industri. Selain untuk stainless steel, nikel juga merupakan bahan utama dari litium baterai yang merupakan komponen utama dari mobil listrik dan hampir seluruh peralatan elektronik yang memerlukan baterai.
"Yang kita butuhkan adalah investasi hilirisasi di sektor ini. Inilah yang saat ini sedang kita dorong. Mulai 2014, investasi di sektor hilirisasi nikel untuk stainless steel mulai mengalir, seiring dengan dilarangnya ekspor bijih nikel," katanya.
Mulai tahun ini, tepatnya setelah normalisasi restriksi akibat pandemi Covid-19, akan ada tambahan pengiriman 500 orang mahasiswa dengan target 3.000 orang sampai dengan 2024 untuk program S-1, S-2, S-3, dan program kejuruan. "Nantinya lebih banyak sumber daya manusia akan mendapatkan pelatihan kejuruan atau melanjutkan pendidikan tinggi dan mendapatkan transfer of knowledge dan transfer of technology yang akan bermanfaat bagi Indonesia untuk leap frog dalam pengembangan industri ke depan," kata Jodi.