REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Di dalam Islam, pemakaman terhadap jenazah biasanya harus dilakukan dalam 24 jam setelah kematian. Akan tetapi, Siprus utara yang dikuasai Turki menutup perbatasannya lantaran wabah virus corona (Covid-19).
Akibatnya, 18 warga Siprus Turki yang akan dipulangkan ke tanah air mereka masih tertahan di masjid di London, Inggris, beberapa pekan pekan setelah kematian mereka. Saat ini, 18 mayat tersebut disimpan di Masjid Ramadan di Hackney, distrik di timur London.
Sementara itu, pihak berwenang memberikan persetujuan untuk mayat-mayat tersebut akan diterbangkan kembali setelah 1 Juni ketika perbatasan dibuka kembali sebagian. Para kerabat mengaku begitu terpukul dengan situasi tersebut.
Direktur pemakaman masjid, Erkin Guney, mengatakan mereka telah mengadakan sejumlah pemakaman yang disebutnya belum pernah terjadi sebelumnya dalam enam pekan terakhir ini. Hal itu menurutnya telah menjadi traumatis bagi masyarakat.
Di waktu-waktu normal, kerabat mereka yang meninggal di luar negeri dapat menghubungi direktur pemakaman untuk menangani pemulangan jenazah. Akan tetapi karena pandemi ini, siapa pun yang ingin memindahkan atau mengirim jenazah harus mendapatkan izin dari pihak berwenang di Siprus utara.
Perwakilan kawasan tersebut di London, Oya Tuncali, mengatakan persetujuan diberikan pada 14 Mei atas 11 kematian yang tidak dianggap melibatkan virus corona, untuk dimakamkan di Siprus utara setelah 1 Juni. Persetujuan tersebut masih menanti tujuh orang lagi, yang semuanya meninggal karena Covid-19.
Sementara itu, Kantor Luar Negeri mengatakan pemulangan (repatriasi) jenazah adalah masalah bagi masing-masing negara, yang mengikuti aturan mereka sendiri. Di antara jenazah yang menanti untuk dipulangkan adalah Mustafa Enver yang meninggal pada 11 April lalu.
Kakaknya, Aysen Rezvan, mengatakan sebelum dia meninggal dia telah meminta dikirim ke Siprus untuk dimakamkan di samping saudara lelakinya atau ayahnya. Dia mengatakan, ibunya sangat ingin putranya itu tiba di kampung halamannya.
"Setiap kali ketika saya berbicara dengannya, hal pertama yang dia tanyakan adalah, 'di mana putraku?" kata Rezvan, dilansir di BBC, Kamis (28/5).
Sedangkan Inci Akin, seorang kerabat dari Hasan Zort yang juga di antara 18 orang yang meninggal itu, mengatakan keluarganya dibiarkan hanya menunggu. "Bibiku hancur karena itu," katanya.