Investasi ramah lingkungan kian digalakkan. Dalam laporan Green Finance Opportunities in ASEAN yang diterbitkan oleh Bank DBS disebutkan, estimasi kebutuhan pembiayaan investasi ramah lingkungan di negara-negara ASEAN dari 2016 hingga 2030 sebesar US$3 triliun. Kebutuhan pembiayaan itu tersedot ke sektor infrastruktur (US$1,8 triliun), energi terbarukan (US$400 miliar), efisiensi energi (US$400 miliar), dan pertanian pangan (US$400 miliar). Indonesia akan menyedot porsi terbesar (36 persen) dari kebutuhan pembiayaan itu.
Selama periode 2010-2014, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), total realisasi investasi ramah lingkungan sudah sekitar 30,3 persen dari total nilai investasi, yaitu sebesar Rp486 triliun dibandingkan total nilai investasi Rp 1.600 triliun. Dari realisasi tersebut, sebanyak US$26,8 miliar merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Rp 139,1 triliun merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Salah satu perseroan yang menjadi pionir green bond atau obligasi berwawasan lingkungan adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Rencananya, total nilai ‘obligasi ramah lingkungan’ yang akan diterbitkan SMI sebesar Rp 3 triliun.
SMI mengalokasikan dana hasil penerbitan Green Bond Berkelanjutan I Sarana Multi Infrastruktur ini untuk membiayai proyek infrastruktur ramah lingkungan. Di antaranya energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan pengelolaan air bersih. SMI mendapatkan bantuan arahan dari World Bank Group dalam penyusunan kerangka kerja obligasi ramah lingkungan ini.
Ada enam proyek ramah lingkungan yang akan dibiayai lewat penerbitan obligasi ini. Yaitu LRT di Palembang, Jabodetabek, dan pembiayaan kepada PT Inka dalam rangka pembuatan rolling stock gerbong LRT. Tiga proyek lagi adalah pembangkit listrik mini hidro di Sulawesi Utara dan Sumatera Barat, serta proyek pengolahan air bersih di Cilegon, Banten.
Dilansir dari keterangan tertulis Bank DBS, ada sejumlah insentif fiskal maupun nonfiskal yang diberikan Pemerintah Indonesia. Misalnya pembebasan pajak seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.159 tahun 2015 dan pengurangan pajak yang diatur lewat Peraturan Pemerintah No.9 tahun 2016.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam Conference of Parties (COP) 15 pada 2009 di Kopenhagen, Denmark, untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 persen (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41 persen (jika mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020.
Komitmen Pemerintah Indonesia diperkuat melalui dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang pertama pada bulan November 2016 dengan ditetapkannya target unconditional (dengan upaya sendiri) sebesar 29 persen dan target conditional (dengan bantuan internasional) hingga 41 persen dibandingkan skenario business as usual pada tahun 2030.
Proses transisi menuju pembangunan rendah emisi GRK ini butuh investasi dan pembiayaan yang sangat besar. International Finance Corporation menaksir Indonesia butuh investasi sebesar US$274 miliar atau hampir Rp 3.870 triliun hingga 2030. Pembiayaan dan investasi sebesar ini terang sulit ditanggung semuanya oleh pemerintah. Perlu partisipasi banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga keuangan untuk membiayai transisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan kembali ‘Sukuk Ramah Lingkungan Global’. Sukuk ramah lingkungan global pertama kali diterbitkan Pemerintah Indonesia pada 2018 silam dengan nilai US$3 miliar, di mana sukuk bernilai US$1,25 miliar bertenor lima tahun dan US$1,75 miliar memiliki tenor 10 tahun.
Editor : Eva Martha Rahayu
www.swa.co.id