REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah melemahnya Kesultanan Ottoman, para sultan masih mempunyai komitmen tinggi terhadap tanah Palestinah. Mengutip buku harian Sultan Hamid II, ia menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II, sehingga membuat marah bangsa Yahudi.
Karena ketegasannya itu, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II. Pada masa pemerintahannya, ia harus berhadapan dengan manuver orang-orang Yahudi Dunamah yang ingin mendongkel kekuasaannya.
Setidaknya, ada beberapa langkah dan strategi dilancarkan kaum Yahudi menurut sejarawan Muslim Dr Muhammad Harb untuk menembus dinding kokoh Kesultanan Turki Usmani. Target mereka adalah dapat memasuki Palestina. (Dr Muhammad Harb: 2012).
Pada 1892 sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab dengan memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu, kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Pada 1896 Theodor Herzl memberanikan diri untuk kembali menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu kembali dijawab Sultan dengan penolakan tegas. "Sesungguhnya, Kesultanan Ottoman ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan tersebut. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian dalam kantong kalian sendiri," tegas Sultan.
Meski sudah ditolak hingga dua kali, Kaum Yahudi tak patah arang. Mereka kemudian melakukan usaha selanjutnya, yaitu dengan menggelar konferensi Basel di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Kesultanan Turki Ottoman.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan. Paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan, pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902 tanpa rasa malu Herzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Herzl kali ini untuk menyogok orang nomor satu kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Herzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan, membayar semua utang Pemerintah Ottoman yang mencapai 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga.
Selain itu, mereka menjajikan akan mendirikan satu pasukan armada tentera laut untuk Ottoman membangun Universitas Ottoman di Baitulmaqdis dan memberikan dukungan politik kepada Sultan Abdul Hamid di Eropa dan Amerika.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Herzl dan hanya diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan,Nasihati Herzl agar jangan meneruskan rencananya.
“Saya tidak bisa mentoleransi walaupun sejengkal dari bumi Palestina, karena itu bukan milik saya, tetapi milik umat Islam yang telah berperang dan mengorbankan darah untuk mendapatkannya... Sekiranya kamu membayar kepada saya dengan seluruh emas yang ada di atas muka bumi ini sekalipun, saya tidak akan izinkan kamu mengambil bumi Palestina''.
Gerakan Zionis tidak putus asa. Mereka coba menjalin kerjasama dengan Inggris yang masuk ke Palestina dengan tujuan untuk menjajah. Dalam masa penjajahan tersebut, Inggris membuka jalan masuknya pendatang Yahudi dan membuka lokalisasi ilegal untuk mereka.