REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberi tanggapan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Komnas HAM menilai jika diterbitkan Perpres itu akan tumpang tindih dengan UU yang lain, di antaranya UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Semua doktrin hukum yang ada, peranan TNI hanya penindakan saja, kalau selebihnya itu dilakukan polisi dan BNPT. Tapi, kan di Perpres itu mengatur semua soal TNI, termasuk soal penindakan yang menyalahi aturan yang ada. Apalagi, operasi teritorial dan operasi intelijen menyalahi prinsip negara hukum," ujar anggota Komnas HAM, Choriul Anam, di Jakarta, Jumat (29/5).
Choirul juga menyarankan DPR untuk menolak Rancangan Perpres yang diajukan pemerintah pada awal Mei lalu. "DPR bisa menolak untuk menindaklanjuti dan bisa mengusulkan untuk menyiapkan RUU Perbantuan TNI," katanya.
RUU Perbantuan TNI, tambah dia, jauh lebih penting karena TNI bisa melakukan operasi militer selain perang, termasuk membantu menangani terorisme."Secara subtansi Perpres itu berbahaya karena potensi pelanggaran hak asasi manusia, di situ ada prosedur yang mengurangi aturan sebelumnya, misal ada penyadapan harus izin ke pengadilan, kemudian penahanan. Tapi di dalam perpres itu tidak diatur," katanya.
Selain itu, lanjut dia, Perpresitu juga bertentangan dengan UU Terorisme dan UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Perpres itu, kata dia, berpotensi mengembalikan lagi dwifungsi TNI yang tidak sesuai amanat reformasi. Kedua, adalah melampaui batas, kewenangan dan kerangka dasar penanganan teroris yang selama ini ada.
Ia mengingatkan Presiden Joko Widodo agar tidak mensahkan Perpres tugas TNI yang rancangannya sudah diserahkan kepada DPR pada awal Mei 2020.