Sabtu 30 May 2020 06:35 WIB

Draf Perpres TNI untuk Penanganan Terorisme Dinilai Kacau

Perpres tersebut dinilai akan mengganggu sistem peradilan yang sudah ada.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andi Nur Aminah
 Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani (kiri)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai pemberian kewenangan TNI melalui Perpres akan membingungkan dan mengacaukan penanganan terorisme. Menurutnya, hal itu juga mengganggu sistem peradilan yang sudah ada.

"Kalau ditangani oleh militer nantinya membingungkan karena militer tidak mengikuti peradilan sipil tapi peradilan militer. Nanti mana yang ditangkap polisi dan TNI jadi bingung," kata Julius dalam keterangan, Sabtu (30/5).

Baca Juga

Julius menerangkan beberapa alasan lain penolakan diberikannya kewenangan TNI menangani terorisme. Dia mengatakan, salah satunya adalah pelibatan TNI dalam menangani terorisme tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan.

Dia menilai bahwa kewenangan TNI menangani terorisme dalam koridor criminal justice system itu sudah menyalahi aturan. Dia mengatakan, hal itu mengganggu sistem ketatanegaraan sebab dalam criminal justice system tugas pencegahan, penindakan sudah ditangani Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dia melanjutkan, begitu juga dari segi substansi yang banyak menimbulkan multitafsir. Dia mengungkapkan, dalam Pasal 3 draf Perpres TNI misalnya, TNI boleh melakukan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya.

“Operasi lainnya apa? Ini tidak dijelaskan dalam perpres. Jangan-jangan nanti ditafsirkan sendiri. Itu akan bertentangan dengan Pasal 7 UU TNI. Tugas perbantuan dalam hal ini Operasi Militer Selain Perang (OMSP) itu kewenangannya harus diatur UU bukan perpres. Ini kesalahan Jokowi sebentar-sebentar perpres. Ini menghilangkan fungsi legislasi di DPR," katany.

Ia menambahkan, pelaksanaan OMSP merupakan hasil dari keputusan politik antara Presiden Jokowi dengan DPR. Dia mengaku kritik tersebut tidak berarti nenunjukan dia alergi dengan militer. Tapi koridor secara tata negara tidak salah dan dalam pelaksanaannya secara teknis tidak ada pelanggaran HAM. "Jadi enggak melarang TNI terlibat tapi punya dasar hukum, ada koridornya," katanya.

Julius meminta Presiden Jokowi mencabut rancangan perpres tersebut dan membahas ulang dengan mengundang masyarakat sebagai pihak yang terdampak perpres ini. Menurutnya, sudah menjadi tabiat buruk pemerintah yang menyangkut kebijakan publik tidak transparan dan tidak melibatkan partisipatif publik.

"Jika perpres tersebut tetap dipaksakan untuk diproses maka kami akan mengambil langkah hukum dengan cara melakukan judicial review," katanya.

Sebelumnya, usai penyerahan rancangan peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR, sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melakukan penolakan melalui penandatangan petisi. Selain Julius, tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri mendiang Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement