REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan sebagai negara demokratis, produk kebijakan penanganan terorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif. Keseimbangan yang dimaksud, yakni perlindungan terhadap liberty of person (kebebasan seseorang) dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap security of person (keamanan seseorang) pada titik lain.
"Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)," katanya di Jakarta, Sabtu(30/5).
Untuk itu, menurut dia, pelibatan TNI menangani aksi terorisme seperti yang tertuang dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang telah diajukan ke DPR tidak tepat, sebab memberikan kewenangan berlebih kepada TNI. Rancangan Perprestersebutjuga dapat merusak peran TNI dan Polri.
"Pembagian nyata antara TNI dan Polri sangat jelas dalam peran pertahanan dan keamanan. Pelibatan militer di luar perannya ketika memang ada kondisi-kondisi khusus," katanya.
Bila Undang-Undangnya berbeda dengan konsep Perpresnya, ia mengatakan, akan menimbulkan masalah karena tidak ada kaitan antara UU Terorisme dan UU tentang TNI. Pemerintah telah menyerahkan rancangan Perpres itu kepada DPR pada awal Mei 2020.
Zainal pun meminta kalangan parlemen untuk turut mengkritisi alasan keluarnya rancangan Perpres itu. "Perpres ini kan harus dikritisi, jadi DPR juga harusnya menanyakan ke pemerintah maksudnya di balik itu melalui kewenangan pengawasan. Sementara masyarakat sipil barangkali akan melihat kemungkinan judicial review dan sebagainya terhadap Perpres itu," ujarnya.
Bila Perpres tersebut ingin tetap disahkan, tambah dia, sebaiknya direvisi dengan menyesuaikan poin-poin yang telah disampaikan sejumlah aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat melalui petisi beberapa hari lalu. "Seperti ketidakjelasan konsepsi dan sebagainya karena tidak sama maksud membuat UU dan doktrin pembagian peran TNI dan Polri," tuturnya.
Salah satu poin disampaikan dalam petisi tersebut yaitu bahwa hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Sementara itu, para tokoh yang menandatangani petisi berkesimpulan bahwa pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam draf peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi "collateral damage" yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi). Kondisi itu menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Petisi mendesak parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan. Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
Sebab, jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia. Hal itu juga akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia.