REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Sigit Riyanto, mengeluarkan pernyataan terkait polemik pembatalan diskusi mahasiswa Constitutional Law Society. Padahal, diskusi sudah berganti judul.
Ia menerangkan, diskusi itu merupakan kegiatan murni atau inisiatif dari mahasiswa. Selain itu, mahasiswa memang punya hak untuk melakukan diskusi ilmiah sesuai minat dan konsentrasi keilmuwan mahasiswa bidang hukum dan tata negara.
Poster diskusi viral pada 28 Mei 2020 berjudul Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan. Hal yang membuat viral salah satunya diduga lantaran tulisan Dosen UGM bernama Bagas Pujilaksono Widyakanigara.
Tulisan Bagas menyebut kegiatan itu sebagai Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19 yang ditampilkan di salah satu portal opini. Akhirnya, mahasiswa CLS UGM mengunggah poster dengan judul yang telah diubah.
"Menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram CLS. Pada saat itu, pendaftar acara diskusi ini telah mencapai lebih dari 250 orang," kata Sigit, Jumat (29/5).
Ia menerangkan, pada 28 Mei 2020 malam, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di poster mulai dari pembicara, moderator, narahubung, sampai Ketua CLS. Bentuk teror beragam mulai dari pemesanan ojek daring ke kediaman mereka, teks ancaman pembunuhan, telepon, sampai ada beberapa yang orang yang mendatangi kediaman mereka.
Berlanjut pada 29 Mei 2020, teror menyasar ke keluarga mereka. Dua contoh ancaman melalui pesan singkat yang dikutip Sigit membawa nama mengaku sebagai ormas Muhammadiyah Klaten.
Sebagaian besar teror berupa ancaman pidana karena makar dan ancaman pembunuhan. Ada pula peretas-peretas yang menggunakan akun media sosial mereka untuk menyatakan pembatalan diskusi dan mengeluarkan peserta-peserta dari grup.
Akhirnya, mahasiswa penyelenggara memutuskan membatalkan kegiatan diskusi. Kendati demikian, Sigit mengaku mengapresiasi dan mendukung diskusi akademik mahasiswa yang sudah berganti judul menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' tersebut.
"Kegiatan ini merupakan salah satu wujud kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat yang selayaknya kita dukung bersama," ujar Sigit.
Ia pun mengecam intimidasi atas rencana diskusi yang berujung pembatalan diskusi ilmiah tersebut. Menurut Sigit, ini ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik, apalagi menjustifikasi secara brutal sebelum diskusi dilaksanakan.
Sigit turut mengecam berita provokatif dan tidak berdasar terkait kegiatan akadmis tersebut yang tersebar dan memperkeruh situasi. Ini mengarah kepada perbuatan pidana penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik.
Fakultas Hukum UGM merasa perlu menyampaikan pentingnya kesadaran hukum kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum. Utamanya, yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain.
Ia turut berempati kepada keluarga mahasiswa yang mendapat tekanan akibat ancaman teror yang tidak seharusnya terjadi. Terlebih, di situasi pandemi yang sudah cukup memberikan tekanan kepada semua orang.
"Fakultas Hukum UGM telah mendokumentasikan segala bukti ancaman yang diterima oleh para pihak terkait, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka melindungi segenap civitas akademika dan pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa ini," kata Sigit.