REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyiddin Junaidi menanggapi Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tidak memasukkan Tap MPRS Nomor XXV/ 1966. Ia menyampaikan, bahwa pelarangan PKI dan atributnya harus tetap dipertahankan.
KH Muhyiddin mengatakan, MUI sejak awal menolak segala upaya dari pihak manapun yang menafikan atau mengaburkan kebiadaban PKI terhadap umat Islam. Tap MPRS tentang pelarangan PKI dan atributnya harus tetap dipertahankan. Agar generasi mendatang paham sejarah dan waspada selalu terhadap rekayasa, kelicikan, propaganda dan agenda terselubung para kader komunis.
"Di antara jargon yang didengungkan para kader dan simpatisan komunis sebagai upaya memanipulasi sejarah adalah paham komunisme sudah mati, bahkan mereka menggaungkan slogan sebagai rakyat yang sangat Pancasilais murni," kata KH Muhyiddin melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (30/5).
Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara besar harus punya komitmen kuat dan sikap yang solid dalam mempertahankan kebijakan dan kesepakatan rakyat demi kesatuan dan persatuan. Setiap negara di dunia punya kebijakan sendiri sebagai identitas dan pola hidupnya. Misalnya, Jerman sampai saat ini tetap mempertahankan kebijakan nasionalnya melarang paham zionisme dengan segala atributnya.
Begitu juga Indonesia wajib mempertahankan identitas nasional dan kesepakatan yang dituangkan dalam Tap MPRS tahun 1966 tentang pelarangan paham komunisme di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan tersebut sangat sejalan dengan ajaran Islam yang anti ateisme (antiagama).
"Ini adalah intisari Pancasila dan sila pertama yang menjadi tulang punggung dari empat sila berikutnya, Pancasila adalah darul ahdi wa syahadah, kesepakatan kolektif bangsa Indonesia untuk menjaga kesatuan dan persatuan guna meraih ridho Allah, Tuhan Yang Maha Esa," ujarnya.
KH Muhyiddin mengatakan, setiap gerakan yang berupaya merusak kesepakatan nasional, itu adalah penghianatan terhadap perjuangan para founding fathers negara ini. Sangat naif jika DPR yang merupakan perwakilan rakyat dan digaji oleh uang rakyat dengan segala fasilitasnya ternyata melakukan penghianatan besar terhadap aspirasi rakyat dengan dalih apapun juga.
Apalagi itu dilakukan saat rakyat sedang berjuang melawan pandemi Covid-19 yang sudah membuat rakyat sengsara dan menderita secara ekonomi. Hendaknya semua pihak menghindari segala upaya yang memancing emosi rakyat yang sedang terpuruk.
"Jika DPR tetap ngotot dan nyeleneh, maka rakyat pasti akan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir," kata KH Muhyiddin.
Ia mengatakan, DPR dan MPR hendaknya mengajukan inisiatif RUU yang pro rakyat dan bermanfaat bagi bangsa serta negara. Bukan inisiatif yang mubazir dan kontra produktif.
KH Muhyiddin menegaskan, komunisme adalah bahaya laten dan gerakan anti Tuhan serta anti kemanusiaan. MUI dan semua ormas Islam di Indonesia yang merupakan stakeholder terbesar di negara ini menolak upaya pencabutan atau perubahan Tap MPRS tahun 1966 demi kesatuan dan persatuan.
"Kami yakin bahwa DPR masih tetap menjalankan fungsi utamanya. Sebagai pemimpin umat kita diminta untuk berjihad dengan kapasitas masing-masing untuk kebaikan dan kesejahteraan serta keberkahan rakyat," ujarnya.
Ia mengingatkan, di tangan DPR masa depan bangsa dan negara dipertaruhkan. Tetapi bisa saja berubah bahwa di tangan DPR juga kehancuran dan kebangkrutan bangsa bisa dimulai.
Maka, Islam melalui hadits Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa ada tiga golongan manusia yang doanya tidak akan ditolak Allah, yaitu pemimpin yang adil, orang yang berpuasa, dan doa orang yang dizalimi (HR Turmuzi).