REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pembunuhan demi kehormatan atas Romina Ashrafi, 14 tahun, memicu kemarahan di Iran. Media mengecam "kekerasan yang dilembagakan" di Republik Islam Iran itu.
Menurut media Iran, Romina Ashrafi terbunuh dalam tidurnya pada 21 Mei oleh ayahnya, yang memenggalnya di rumah keluarga di Talesh di provinsi Gilan utara, 300-an km dari Teheran.
Namun, Dewan Wali Iran membantah bahwa pembunuhan seorang gadis remaja oleh ayahnya adalah hasil dari "kelalaian" karena keterlambatan persetujuannya atas undang-undang perlindungan anak yang baru.
Setelah kematian Romina, Wakil Presiden Urusan Perempuan dan Keluarga Masoumeh Ebtekar menyesalkan penundaan pengesahan oleh Dewan Wali yang beranggotakan 12 orang tentang perlindungan anak-anak dan remaja.
Ia mengatakan RUU itu dalam "tahap akhir" persetujuan oleh dewan dan mendesak badan puncak, yang bertugas memastikan undang-undang sesuai dengan konstitusi dan hukum syariah Islam, untuk mengesahkannya dengan cepat.
Romina dipenggal kepalanya oleh sang ayah dengan alasan demi menjaga kehormatan. Romina menjalin hubungan dengan pria berusia 34 tahun dan ingin menikah. Setelah membunuh sang putri, sang ayah langsung menyerahkan diri ke polisi.
Dewan sebelumnya telah meminta tiga kali untuk perubahan rancangan undang-undang setelah disahkan oleh anggota parlemen, tulis koran reformis Ebtekar pada hari Rabu.
Harian itu prihatin penundaan lain akan membuat kehancuran rancangan undang-undang, terutama karena parlemen baru Iran didominasi oleh kaum konservatif dan garis keras.
"Tidak ada kelalaian di pihak dewan tentang persetujuan rancangan undang-undang hak-hak anak," juru bicara Dewan Wali Abbas Ali Kadkhodaee mengatakan Sabtu.
"Dan saya tidak melihat adanya kaitan antara RUU ini dan fakta bahwa kejahatan keji ini terjadi," katanya dalam konferensi pers.
Menurut media Iran, Romina Ashrafi dibunuh saat tidur pada 21 Mei oleh ayahnya. Ia dipenggal di rumah keluarga di Talesh di provinsi Gilan utara.