Senin 01 Jun 2020 14:12 WIB

Industri Pariwisata Perlu Transisi Sebelum Beroperasi

Industri pariwisata perlu transisi 1-3 bulan sebelum benar-benar beroperasi

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Pengendara motor melintas di depan wahana wisata bianglala yang ditutup saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Alun-alun Kota Batu, Jawa Timur, Selasa (26/5/2020). Ditutupnya sejumlah wahana wisata dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19 membuat kawasan yang menjadi destinasi wisata terutama saat libur lebaran tersebut kini menjadi sepi pengunjung
Foto: ANTARA/ari bowo sucipto
Pengendara motor melintas di depan wahana wisata bianglala yang ditutup saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Alun-alun Kota Batu, Jawa Timur, Selasa (26/5/2020). Ditutupnya sejumlah wahana wisata dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19 membuat kawasan yang menjadi destinasi wisata terutama saat libur lebaran tersebut kini menjadi sepi pengunjung

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pakar Komunikasi Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, Maulina Pia Wulandari berharap, usaha pariwisata tidak beroperasi secara tergesa-gesa. Ia mendorong industri pariwisata menggunakan waktu selama satu sampai tiga bulan di masa penerapan normalitas baru. Fase-fase ini setidaknya dapat dijadikan sebagai masa persiapan, transisi dan edukasi industri. Dengan demikian, mereka dapat menghitung dan mempertimbangkan secara cermat risiko, biaya, dan keuntungan.

"(Terutama saat) dibukanya kembali dunia bisnis pariwisata," kata Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB ini, Senin (1/6)

Menurutnya, pelaku industri pariwisata perlu mempersiapkan tempat bisnisnya sesuai standar protokol kesehatan. Hal ini tidak hanya dilakukan saat menerapkan normalitas baru tapi juga di era transisi. Mereka harus menjalankan tiga prinsip berupa kebersihan, kesehatan dan keamanan di seluruh komponen.

"Jika ada hal yang terlewat, bisa jadi industri pariwisata malah bisa menjadi pemicu terjadinya second wave pandemik Covid-19," alumni program doktoral University of Newcastle ini.

Sebelum menerapkan protokol kesehatan, pelaku industri pariwisata perlu berlatih atau simulasi terlebih dahulu. Tujuannya, agar para pelaku industri dan karyawannya bisa membiasakan diri dengan perubahan pola hidup tersebut. Menurutnya, pemberlakuan gaya hidup baru ini tidak akan mudah sehingga perlu edukasi secara masif.

Selain itu, pelaku industri pariwisata juga perlu menyusun strategi komunikasi pemasaran yang sesuai dengan masa transisi. Startegi ini tidak hanya berorentasi pada penjualan tapi harus lebih fokus pada kampanye yang bertujuan edukasi kepada semua komponen industri. Hal ini terutama pada wisatawan tentang protokol kesehatan di tempat-tempat dan bisnis pariwisata.

Menurutnya, kampanye kebersihan, kesehatan dan keamanan suatu tempat pariwisata penting dilakukan. Sebab, aspek ini yang dikhawatirkan wisatawan untuk mengunjungi tempat pariwisata. Pelaku usaha pariwisata dapat melakukan kampanye dengan mengunggah foto-foto kegiatan bersih-bersih di tempat wisata melalui sosial media. Kemudian membuat video sederhana yang menunjukkan kesiapan fisik tempat wisata sesuai protokol kesehatan. Lalu mengunggah berbagai poster dan video menarik tentang protokol kesehatan yang harus ditaati selama mengunjungi tempat wisata.

"Dari setiap pesan yang disampaikan secara terus-menerus di berbagai saluran komunikasi seperti sosial media dan media massa, lnsya Allah wisatawan dan pelaku industri pariwisata akan merasa yakin bahwa industri pariwisata kita bersih, sehat, dan aman untuk dikunjung,” ucap Pia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement